Mohon tunggu...
Rena
Rena Mohon Tunggu... Freelancer - nama asli

pecinta proses dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Adakah Ruang Bagi Jurnalis Idealis di Dunia yang Kapitalis?

2 Agustus 2018   21:41 Diperbarui: 2 Agustus 2018   22:56 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media global (berbasis internet dan switched network) dan media lokal tradisional, menurut hemat saya adalah bentuk  industri kapitalis yang sangat nyata dan sempurna. Melihat strategi serta sejarah jaringan dari mulai NSFNET (saat internet masih di pergunakan terbatas untuk kepentingan pemerintah dan edukasi) sampai privatisasi terjadi di tahun 90s.

Ada konflik menarik saat perseteruan antara kaum liberalis mempersuasi pemerintah untuk meliberalisasi penggunaan internet yang ujung-ujungnya menjadi privatisasi, dan BOOM! menggunakan issue 'internet untuk rakyat',  jadilah internet lapak mereka para pemodal. Seperti biasa saya enggan menilai apakah ini baik atau buruk. Dampaknya selau terletak diantara dua kutub pasti, seperti hukum alam. Positif negatif.

Mari melompat ke inti, menjawab pertanyaan mengapa media menjadi korporasi yang sangat terkapitalisasi atau sangat kapitalistik. Bicara soal kapitalisme itu bicara soal duit yang dijadikan capital (modal) yang mem-privelege mereka para pemodal juga memiliki kekuasaan untuk mengakuisisi sebuah korporasi yang lain atau membangkrutkan UMKM atau supaya relevant dengan tulisan saya, platform media kecil.

Media merupakan suatu segment dimana praktik monopoli melalui akuisisi terjadi dan menjadi hal yang mutlak dilakukan (Castells, 2013). Tawaran akuisisi atau bangkrut benar-benar menjadi dua opsi yang tidak bisa dielak (Castells, 2013). Pembagian keuntungan menjadi hal yang prinsipil dalam bisnis, dan tawarannya hanya dua: berbagi atau gulung tikar. Naasnya, yang bisa menawarkan adalah mereka pemilik korporasi dengan modal besar. Pemilik usaha kecil hanya menerima tawaran dengan posisi tawar yang kurang baik (saya pikir).

Yang patut diacungi jempol adalah transisi media infotainment tradisional mendistribusikan konten global, semenjak ada internet. Dan sampai sekarang, media berbasis jaringan internet jelas lebih digandrungi masa. 

Tiap-tiap individu seringkali mengakses informasi berupa berita harian dari YouTube, bukan dari saluran TV. Oleh karena itu menjadi penting bagi saluran TV manapun untuk mengakses platform YouTube atau platform lainnya.  Sampai saat ini, setelah jaringan terotomatisasi melalui akuisisi dan sharing informasi, media sudah tidak perlu membuka pasar atau menciptakan pasar. 

Mereka sendiri adalah pasar yang dimiliki oleh masa. Dengan brilliant mereka sudah melalui tahap itu. Adapun tahap selanjutnya yang terus dilakukan dan dipertahankan adalah penganekaragaman konten, yang mana hal ini tidak bisa sewenang-wenang diputuskan. Disini censorship berlaku. Menyesuaikan dengan nilai-nilai lokal yang biasanya diregulasi oleh negara.

Media is the most sustainable market (Castells, 2013). Sustainabilitas ini tidak mungkin terwujud tanpa deregulasi yang di dukung oleh IMF pada tahun 1995 (Castells, 2013). Deregulasi disini menciptakan privatisasi yang semakin nyata. Saya yakin pembaca paham cara yang biasa digunakan IMF untuk menderegulasi kebijakan. Tentu IMF selalu menderegulasi kebijakan pihak lain dengn memberlakukan kebijakannya sendiri yang berlogika untung-rugi.

Dari sini saya bisa menyimpulkan bahwa dalam tahap kepemilikannya, media memang sangat liberal, karena logika yang dipakai adalah logika bisnis antar media platform. Namun dalam tahap pendistribusian konten, media sangatlah rigid terhadap nilai-nilai lokal tempat media yang paling spesifik bercokol. Misal: CNN Indonesia tidak bisa sewenang-wenang mendistribusikan konten yang tidak sejalan dengan nilai-nilai  yang berlaku di Indonesia, sekalipun CNN sangatlah independen (media korporasi milik Amerika), tetap pendistribusian informasi tidak bisa menghilangkan respect terhadap reguasi lokal yang berlaku. 

Maka dari itu, 'Glocal' menjadi motto media yang memang terimplementasikan dengan baik. Glocal : Think Global, Act Local. Dan strategi Glocal menjadi strategi mutlak yang di adopsi oleh para market expander di berbagai ranah bisnis, yang mana semua itu secara tersirat maupun tersurat mengadung arti adaptabilitas dan kompatibilitas sebuah tindakan.

Dan kesimpulan terakhir untuk menjawab judul yang saya tulis sendiri yang mana ini sangat subjektif berdasarkan pemahaman objektif: Berdasarkan prinsip penganekaragaman konten yang menjadi strategi media untuk mendapatkan profit, idealisme seseorang bisa menjadi bahan jualan mereka. Artinya ada saja ruang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun