Mohon tunggu...
Rena
Rena Mohon Tunggu... Freelancer - nama asli

pecinta proses dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Segmentasi Pasar "Kalangan Krisis Identitas"

15 Juli 2018   17:33 Diperbarui: 15 Juli 2018   20:11 1809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menilik satu segmen kehidupan yang tidak pernah homogen. Pikiran saya selalu terbuai oleh asumsi-asumsi saya sendiri, tentang lajunya gerak sosial yang alami, organic (tanpa digerakan) atau juga dengan sengaja digerakan, dibentuk, demi suatu tujuan. 

Disini saya ingin jujur terhadap siapapun, dan utamanya saya sendiri mengenai kebiasaan-kebiasaan manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, menjadi suatu budaya, dan saat ini kebiasaan-kebiasaan yang menjadi budaya tersebut telah terbaca oleh para ahli. Para ahli membaca kejadian-kejadian dalam ranah general maupun spesifik di kalangan masyarakat. Dan, jujur...saya enggan untuk menilai apakah ini baik atau buruk.

Pernah saya bertanya baik dihadapan cermin maupun tidak, perihal siapa saya sebenarnya, dan untuk apa saya hidup. Saya yakin semua manusia yang berakal-budi, sempat setidaknya satu kali memikirkan hal seperti ini, yaitu perihal 'siapa-apa saya ini sebenarnya'. Lalu kita menilik kembai ke masa hidup yang telah kita lalui, menilai kembali, menarik kesimpulan lagi, merefleksikan sikap dan aksi yang telah kita lakukan. Terkadang, saat saya menanyakan perihal 'siapa-apa' terhadap diri saya sendiri, isi kepala saya menjawab dengan 'peran'. 

Jawaban terhadap 'siapa saya' adalah bagaimana saya berperan dalam berkehidupan sosial, berelasi. Begitupun untuk menjawab pertanyaan apa tujuan, mungkin jawabannya adalah tentang ingin menjadi apa saya di masa depan.

Masa depan memang selalu menjadi tujuan pasti semua orang. Tanpa di rencanakan, masa depan sudah akan datang. Saya juga bertanya. Kapan masa depan itu? Apakah 24 jam dari sekarang? 5 menit atau 10 tahun? 

Saya mengambil kesimpulan, masa depan (mungkin) adalah bentuk satuan waktu yang dipenuhi misteri, bermuatan penuh ketidaktahuan kita tentang apa yang mungkin terjadi. Karena saat kita tahu apa yang akan terjadi 1 hari dari sekarang, itu tidak masuk kategori masa depan. 

Krisis identitas, bagi saya adalah sebuah virus bermuatan bakteri positif, membuat kita bertanya-tanya, dan terjangkit demam mengkritisi realitas pribadi kita sendiri. Sesuai kutipan para ahli riset, khususnya sociology-anthropology dan psychology, identitas mengalami perubahan dari sesuatu yang berupa kepastian, menjadi sesuatu yang tidak pasti dan unik. Jika dulu identitas kita terbatasi oleh ruang tempat, sosial dan waktu, saat ini batas tersebut telah hilang. 

Identitas seseorang menjadi sangat fleksibel, mengalami perluasan dan penyempitan sesuai konteks  peran, menjadi sesuatu yang begitu relatif-subjektif. Dan para pemburu keuntungan sudah membaca fenomena tersebut, menciptakan pasar. Menarik keuntungan dari mereka yang terjangkit virus kritis. Sekali lagi saya akan bilang, saya enggan menilai ini sebagai satu hal yang baik atau buruk.

Bagi saya, krisis identitas adalah masa-masa dimana seorang individu bertanya mengenai realitas individunya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan tersebut biasanya berupa : "siapa saya", "apa tujuan hidup saya", "untuk siapa saya hidup", "bagaimana saya merepresentasikan diri saya dihadapan orang-orang", dan masih banyak lagi. Dan saya rasa, identitas suatu individu saat ini tidak pernah bersifat tunggal. 

Seorang individu, bisa merepresentasikan dirinya sebagai ras tau etnik tertentu saat individu tersebut pada praktik kehidupannya melakukan budaya ras atau etnik lain. Mengapa bisa demikian? Penemuan internet berperan penting dalam hal ini.  Krisis identitas pada umumnya tumbuh lebih subur di wilayah urban, yang sering dikunjungi para pendatang dan menetap. 

Mereka yang pada awalnya berkeyakinan A namun terpapar oleh budaya B, sehingga mereka sulit menentukan individu dengan budaya manakah saya ini sebenarnya. Namun ini bukan satu fenomena yang chaotic. Fenomena ini, menurut saya, merupakan fenomena yang positif, yang merupakan proses penentuan, arah menuju kedewasaan.

Tentu ini merupakan situasi dalam ranah individu yang dipenuhi oleh keraguan dan ketidak pastian. Maka dari itu para individu dengan krisis identitas akan mencari dan terus mencari, menentukan jadi diri, terejawantahkan menjadi keputusan-keputusan kecil hingga besar. Dari soal pakaian model apa yang akan saya pakai, yang sesuai menunjukan identitas saya, sampai tradisi mana yang akan saya jalani saat menikah nanti. Tentu itu merupakan keputusan-keputusan yang sarat akan penunjukan identitas individu.

Situasi yang penuh ketidak pastian inilah yang membuka kesempatan bagi mereka para pencari untung. Merumuskan strategi dengan pertanyaan: "Bagaimana meyakinkan kalangan 'krisis identitas' bahwa produk kitalah yang sesuai menunjukan identitas mereka", atau "Bagaimana memberdayakan kalangan 'krisis identitas' untuk berkontribusi pada tujuan kita, dan menciptakan profit". 

Ini bukan strategi yang buruk, karena kita memang menyenangi profit. Jadi mengumpulkan profit sebanyak yang kita bisa, bukanlah hal yang menyalahi aturan. Yang menjadi pertanyaan mendasar dan ethical yang mungkin menimbulkan permasalahan seputar profit adalah : bagaimana profit itu didapat, dan digunakan untuk apa profit yang sudah didapat (mungkin).

Berbicara soal pasar selalu berkaitan erat dengan jualan. Pertanyaannya apa yang akan dijual? Bukan hanya benda, saat ini sesuatu yang bersifat nilai atau ide pun bisa dijual. Pada praktiknya ini terjadi belum begitu lama, mungkin sejak kapitalisme merajalela, dimana ideologi diperjual belikan melalui dakwah-dakwah, tulisan dan ruang kelas.

Pasar pun tidak bisa di putuskan dari segmentasi. Segmentasi merupakan satu faktor paling krusial dalam proses menciptakan keuntungan. Tanpa segmentasi, produk yang diciptakan dan akan dijual bisa jadi tidak relevan, karena tidak berhasil merepresentasikan nilai-nilai yang dipercayai oleh saya atau Anda dan semua orang yang menjadi pembeli (baik produk material ataupun ideologi), atau oleh kalangan 'krisis identitas'. 

Dari segmentasi akan tercipta kesimpulan, (biasanya) bukan produk apa yang akan diciptakan, melainkan cara apa yang paling efektif untuk memasarkan produk dan menciptakan profit.

Apa yang saya tulis tentu bukan satu hal yang baru. Bagi para market strategist, ini merupakan ilmu yang tidak bisa kita ganti dengan ilmu lain. Namun yang menarik perhatian saya selanjutnya adalah budaya voluntarism atau budaya menjadi sukarelawan. 

Dalam lingkup kapitalisme yang kuat, 'sukarelawan' adalah orang-orang yang mereka cari untuk mengembangkan pasar, dan merupakan sebuah proses penciptaan keuntungan yang bukan main 'menguntungkan' kedua belah pihak. Kaitan krisis identitas dan budaya menjadi sukarelawan, bagi saya merupakan dua kutub yang berdialektik, dan akan saya bahas di lain kesempatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun