Mohon tunggu...
Rena
Rena Mohon Tunggu... Freelancer - nama asli

pecinta proses dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Secara Fungsi, Mungkin Saya Ini Bukan Perempuan

21 Juni 2017   22:42 Diperbarui: 9 Oktober 2019   00:41 1298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semuanya make sense. Substansi kesetaraan gender bukan main bikin pusing. Ini bukan karena saya tidak bisa mencerna. Tapi kok banyak sekali teori-teori, tapi perempuan tetep saja jadi manusia kelas dua. Kok banyak sekali organisasi, komunitas, institusi sampai komisi nasional dan internasional perempuan yang sepertinya impoten. Apa masalahnya sebenarnya?

Buah pikiran saya mengatakan, ini bisa jadi karena adanya glorifikasi substansi perempuan, berlandaskan kesetaraan. Ditambah lagi faktor kultural yang tidak bisa menerima perubahan perempuan. Kita terlalu sibuk menyuarakan kesetaraan, tapi prakteknya tidak koheren sama substansinya. Pada dasarnya kesetaraan itu kan di praktekan.

Nah, timbul lagi pertanyaan, “Memang praktiknya harus seperti apa?”. Ini pertanyaan, saya belum dapat jawabannya. Tapi sang narasumber dalam seminar berkata, praktiknya ya sesuai fungsi perempuan. Fungsi perempuan, beliau melandasinya dengan arti kata ‘perempuan’ itu sendiri. Yaitu ‘empu’ dan ‘puan’ yang artinya pemangku kehidupan. Beliau menjelaskan bahwa perempuan itu, identik dengan pemeliharaan, dan penerimaan sosial.

Balik lagi ke retrospeksi diri: benarkah fungsi tersebut bersifat kodrati? Lalu gimana dengan saya yang bisa dibilang tercerabut dari nilai-nilai identik perempuan yang disebut di atas?

Buah pikiran saya mengatakan, pemeliharaan dan penerimaan sosial itu bukan suatu hal yang kodrati. Itu merupakan satu hal yang bisa dibentuk dengan pendidikan (luas). Satu-satunya yang kodrati mengenai ‘perempuan sang pemangku kehidupan’ adalah secara biologis, dia memiliki rahim, mengandung, dan melahirkan.

Tidak jarang saya lihat sekarang ini, ketika perempuan bicara kesetaraan gender, mereka seperti ganti kostum, pakai baju laki-laki, berganti peran. Itu juga yang mungkin saya alami, dan terlihat oleh orang-orang di sekitar saya. Waktu saya mendominasi karena saya secara tidak sadar lebih ‘laki’, itu terlihat saya sedang membalikkan peran. Padahal, saya sedang berusaha memaksimalkan peran saya: menjadi perempuan sepengetahuan saya.

Jadi, hemat saya, meraih kesetaraan itu bukan harus paham substansi, tapi sadar peran dan fungsi, kemudian dibicarakan. Mana peran yang lebih baik dan lebih pandai kita mainkan. Jika peran saya, misalnya, lebih baik dalam bidang kepemimpinan, mengapa harus ada embel-embel menyalahi aturan (tidak sesuai kodrat perempuan)? Sudah terbukti saya lebih cerdas dan paham navigasi bidang yang digeluti. Begitupun laki-laki, ketika perannya lebih baik di pemeliharaan dan hal-hal domestik, kenapa kita harus punya frame menyalahi aturan? Mari kalau diskusi soal gender, jangan bicara konstruksi gender di mata sosial, bicara manusia saja lah, sesuai dengan fungsi kemanusiaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun