Seumur hidup, saya pernah menjadi laki-laki satu kali saja: dalam pertunjukan drama. Bisa dibilang sulit tidak sulit. Sulitnya adalah meyakinkan diri sendiri bahwa saya ini laki-laki (dalam seni peran). Dan lebih sulit lagi dalam kehidupan nyata: bersikap seperti perempuan pada umumnya. Ini implikasinya saya jadi tidak umum. Saya mengakui, menjadi perempuan konvensional itu sulit, karena saya memiliki latar belakang pendidikan kekeluargaan yang berbeda.
Jadilah saya korban stigma “perempuan yang bukan perempuan”. Apakah merugikan saya? Mungkin kalau berpikir untung-rugi, ada saja. Tapi saya sendiri tidak berpikir seperti itu. Jalani saja. Saya yakin saya ini perempuan, sekalipun beberapa orang yang tidak kenal mencap saya secara sewenang-wenang: perempuan liar.
Misal, saya hobi naik gunung, menguasai beberapa ilmu bela diri, lebih doyan pake motor kopling, hobi olah raga, dan senang melakukan hal-hal ekstrem. Begitu pula urusan berbahasa, saya lebih blak-blakan, frontal. Dalam organisasi, lebih memilih bicara berlandaskan tujuan organisasi tanpa memikirkan perasaan personal. Profesionalitas di atas segalanya.
Mengenai kebiasaan, saya bahkan gak nyaman kalau kuku tangan panjang sedikit. Saya sering kali pulang malam dan bawa motor. Pernah hampir di begal, tapi itu begal gak bisa ngejar motor saya. Maklum, saya ini mantan pembalap liar pake motor modifan.
Sampai akhirnya saya mendapat pendidikan gender yang marak disuarakan oleh aktivis perempuan. Akhirnya saya merumuskan rangkaian sebab-akibat. Dan hasilnya memang koheren. Sedari kecil, saya ini dibesarkan ala militer. Kalau pulang sekolah telat tanpa alasan jelas, komandan saya (bapak), siap menggantung saya up side down (kaki di atas, kepala di bawah), di pohon rambutan belakang rumah. Komandan saya juga mengajarkan saya supaya tidak jadi anak manja, minta ini itu. Walhasil, saya memang jarang minta sesuatu sama sekali. Hal yang paling simpel: tambahan uang jajan.
Teman-teman saya menilai saya ini orang yang garang, keras, galak. Tidak sensitif sama sekali. Dan itu menjadi dampak sampai sekarang. Dampak tersebut juga, setelah dipikir-pikir menjadi alasan kenapa saya sering gagal dalam relasi dengan laki-laki (pacaran). Pengalaman saya terkait relasi ini, lebih banyak ngenesnya. Ditinggal pergi, diselingkuhi, yah…tragis lah pokonya. Teman-teman saya bilang laki-laki gak bisa terima kalau pacarnya lebih ‘laki’ dari mereka.
Nah, mungkin ini ruginya jadi perempuan yang tidak seperti perempuan pada umumnya. Terkucilkan, semata-mata oleh norma yang berlaku, dan menempel pada perempuan. Konstruksi gender namanya. Bahwa perempuan itu tidak boleh lebih dominan dari laki-laki.
Kalau ditarik ke hal yang lebih serius, bicara soal politik, misalnya. Perempuan tidak bisa mendominasi politik suatu negara, sekalipun Ibu Megawati pernah jadi presiden perempuan pertama dan satu-satunya di Indonesia. Banyak yang bilang, beliau jadi presiden karena ayahnya Presiden Pertama NKRI. Ini faktor kultural, bukan semata-mata karena beliau kredibel. Bener gak sih? Ya, biar masing-masing individu yang menilai.
Karena saya mengalami alienasi di kalangan perempuan, pendidikan gender jadi satu hal yang paling saya minati. Pertanyaan motivasinya satu: memang kenapa kalau saya ini 'lebih laki'?
Pernah di satu seminar, sang narasumber menjelaskan soal substansi dan fungsi perempuan, yang bikin otak saya terangsang bukan kepalang. Selama ini diskusi-diskusi soal kesetaraan gender hanya berada di ranah substansi. Teori-teori kesetaraan gender itu loh, yang pergerakannya (kalo gak salah) ada sembilan tahapan. Dari feminisme liberal, radical, marxist, eco feminism, sampai feminisme eksistensial (banyak yang gak kesebut). Masing-masing term yang saya sebutkan barusan punya landasan yang beda-beda, sesuai intrik dan pergerakan zaman.
Mau pilih yang mana?
Semuanya make sense. Substansi kesetaraan gender bukan main bikin pusing. Ini bukan karena saya tidak bisa mencerna. Tapi kok banyak sekali teori-teori, tapi perempuan tetep saja jadi manusia kelas dua. Kok banyak sekali organisasi, komunitas, institusi sampai komisi nasional dan internasional perempuan yang sepertinya impoten. Apa masalahnya sebenarnya?
Buah pikiran saya mengatakan, ini bisa jadi karena adanya glorifikasi substansi perempuan, berlandaskan kesetaraan. Ditambah lagi faktor kultural yang tidak bisa menerima perubahan perempuan. Kita terlalu sibuk menyuarakan kesetaraan, tapi prakteknya tidak koheren sama substansinya. Pada dasarnya kesetaraan itu kan di praktekan.
Nah, timbul lagi pertanyaan, “Memang praktiknya harus seperti apa?”. Ini pertanyaan, saya belum dapat jawabannya. Tapi sang narasumber dalam seminar berkata, praktiknya ya sesuai fungsi perempuan. Fungsi perempuan, beliau melandasinya dengan arti kata ‘perempuan’ itu sendiri. Yaitu ‘empu’ dan ‘puan’ yang artinya pemangku kehidupan. Beliau menjelaskan bahwa perempuan itu, identik dengan pemeliharaan, dan penerimaan sosial.
Balik lagi ke retrospeksi diri: benarkah fungsi tersebut bersifat kodrati? Lalu gimana dengan saya yang bisa dibilang tercerabut dari nilai-nilai identik perempuan yang disebut di atas?
Buah pikiran saya mengatakan, pemeliharaan dan penerimaan sosial itu bukan suatu hal yang kodrati. Itu merupakan satu hal yang bisa dibentuk dengan pendidikan (luas). Satu-satunya yang kodrati mengenai ‘perempuan sang pemangku kehidupan’ adalah secara biologis, dia memiliki rahim, mengandung, dan melahirkan.
Tidak jarang saya lihat sekarang ini, ketika perempuan bicara kesetaraan gender, mereka seperti ganti kostum, pakai baju laki-laki, berganti peran. Itu juga yang mungkin saya alami, dan terlihat oleh orang-orang di sekitar saya. Waktu saya mendominasi karena saya secara tidak sadar lebih ‘laki’, itu terlihat saya sedang membalikkan peran. Padahal, saya sedang berusaha memaksimalkan peran saya: menjadi perempuan sepengetahuan saya.
Jadi, hemat saya, meraih kesetaraan itu bukan harus paham substansi, tapi sadar peran dan fungsi, kemudian dibicarakan. Mana peran yang lebih baik dan lebih pandai kita mainkan. Jika peran saya, misalnya, lebih baik dalam bidang kepemimpinan, mengapa harus ada embel-embel menyalahi aturan (tidak sesuai kodrat perempuan)? Sudah terbukti saya lebih cerdas dan paham navigasi bidang yang digeluti. Begitupun laki-laki, ketika perannya lebih baik di pemeliharaan dan hal-hal domestik, kenapa kita harus punya frame menyalahi aturan? Mari kalau diskusi soal gender, jangan bicara konstruksi gender di mata sosial, bicara manusia saja lah, sesuai dengan fungsi kemanusiaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H