Apa saja konsekuensi yang timbul dari kerusakan akal dan kegilaan? Â Salah satunya, yang sangat saya sadari adalah kegagalan. Dan sungguh kegagalan ini mencakup segala aspek. Saya percaya, dengan mencintai orang lain, artinya saya mengorbankan cinta saya terhadap diri saya sendiri, dengan kata lain, gagal mencintai diri sendiri. Cinta juga akan membuat saya gagal dalam menjadi lebih tegas, karena saya akan menoleransi segala bentuk kekurangan. Lebih besar lagi, saya mungkin akan gagal dalam mempertahankan ambisi, karena bisa jadi saya akan lebih sering mengalah. Begitulah cinta dengan kerusakan akal dan kegilaan yang sudah menjadi hukumnya.
Beruntungnya hidup di jaman milenial, jatuh cinta bukan sesuatu yang dicekal. Jadi, tidak masalah. Bahkan ketika kita mendeklarasikan hubungan kita dengan seseorang, kita dianggap ‘sudah normal’. Lucu tidak lucu. Semua orang percaya bahwa mencintai seseorang itu merupakan suatu keharusan. Dan memilih tidak memiliki pasangan merupakan sebuah ketidak normalan.
Lantas, sekalipun saya meyakini cinta itu merupakan sebuah kegilaan dan kerusakan akal, bukan berarti saya enggan jatuh cinta. Justru keyakinan ini yang membuat saya ingin membuktikan bahwa saya siap menerima segala konsekuensi yang akan didatangkan. Oleh karena itu, cinta bukan hal yang mudah bagi saya. Saya akan mempertimbangkan kegagalan-kegagalan tersebut, dan saya akan menciptakan antisipasi-antisipasi mujarab, yaitu berkompromi.
Berkali-kali saya gagal dalam ‘cinta muda’. Beberapa kisahnya adalah tragedi yang menyakitkan. Terkadang saya yang disakiti, terkadang saya yang menyakiti. Ini berguna, sebenarnya. Ini ibarat suatu skenario ‘berganti peran’, membuat saya memiliki perspektif, dan dari situ, setidaknya pandangan ‘adil’ akan saya miliki meskipun hanya untuk menanggapi curhat teman yang sedang patah hati, atau merasa bersalah karena mematahkan hati.
Oleh karena itu, saya pandai mengantisipasi. Caranya: berkompromi, sadar konsekuensi. Jika saya gagal menempuh jalan normal (memiliki pasangan), bukan masalah bagi saya jika pada akhirnya harus menempuh jalan tidak normal (tidak memiliki pasangan), karena cinta adalah kegilaan dan kerusakan akal. Bukankah menjadi waras (tidak mengalami kegilaan) dan tidak rusak akal itu lebih baik?
Tapi apapun yang terjadi, rasa sakit tentu akan menjadi guru, mengajarkan suatu realitas tertentu. Darinya, kita bisa menjaga kewarasan dan mencegah kembalinya kerusakan akal. Setidaknya saya mempersiapkan alasan jika kelak saya gagal dalam menjadi normal (berpasangan), dan tentunya alasan untuk berjuang atas nama cinta, menuju kenormalan di generasi milenial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H