Mohon tunggu...
Rena
Rena Mohon Tunggu... Freelancer - nama asli

pecinta proses dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemahaman Ruang Privat dan Ruang Sosial Pengusaha-penguasa yang Dipertanyakan

13 Oktober 2016   18:39 Diperbarui: 13 Oktober 2016   19:15 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penguasa, pengusaha, sama saja. Pemimpin kita pun dulunya pengusaha, namun patut dijadikan teladan. Yang saya lihat dari Pak Jokowi, saya rasa beliau paham betul apa itu ruang sosial dan ruang privat. Jadi kiprah beliau dalam ruang sosial (pemimpin sekaligus pelayan dan ujung tombak negara) tidak terkontaminasi oleh kepentingan privatnya (pemenuhan ekonomi keluarga).

Sikap beliau yang merakyat sungguh mencuri hati, melebihi kekasih hati, menimbulkan simpati dan empati yang menggugah saya mengikuti gaya hidupnya yang puas dengan secangkir kopi hitam dan pisang goreng dipagi hari. Mata beliau yang saya amati, sarat dengan tatapan dalam, mencerminkan bukti nyata kontemplasi melalui otak dan nuraninya yang tidak silau akan harta duniawi.

Berbeda dengan beberapa petinggi dalam negeri yang notabene menggunakan kekuasaan untuk meraih kepuasan, khususnya dalam bidang ekonomi. Bahkan baru-baru ini ada seseorang yang menjual nama Pak Jokowi untuk meminta saham PT. Freeport demi keuntungan pribadi. Kalian para pemerhati politik sudah pasti tahu siapa pelakunya, meskipun nama tersebut tidak di ungkap dimedia karena orang yang bersangkutan termasuk orang yang memiliki kuasa luar biasa.

Disinilah saya heran dengan system politik dalam negeri yang cenderung ditutup-tutupi. Sudah jelas politik uang ditemukan dalam prosesnya, dan dampaknyapun sudah tidak perlu ditelusuri, yakni, korupsi.

Saya pernah menulis, apakah negara ini kekurangan orang-orang yang berdedikasi berjiwa melayani dan berintegrasi, sehingga pihak-pihak yang memiliki wewenang enggan untuk bertindak adil, menghukum mereka yang telah menyalahgunakan kekuasaannya. Mungkin benar negeri ini kekurangan orang yang pantas untuk dijadikan teladan, pemimpin yang berdedikasi dan berjiwa melayani. Buktinya Golkar tidak lagi punya kader, malah mendukung dan melebur bersama PDIP. Dimana bukti kekaryaan yang menjadi brand kualitas partai papan atas tersebut?

Tulisan saya kali ini sebenarnya ingin mengkritisi para pengusaha dalam negeri. Dan juga beberapa petinggi paling tinggi yang mengesahkan seseorang menjadi penguasa.

Jokowi juga memang pengusaha, tapi moralnya sungguh terasah tajam. Menjadi pengusaha atas dasar kemanusiaan, bukan kekuasaan apa lagi kekayaan. Meskipun beliau menjadi kaya yah, sah-sah saja karena rajin blusukan. Tidak seperti pengusaha lain yang doyan gratifikasi sana-sini. Apalagi kalau si pengusaha sudah jadi penguasa, wah kemungkinan yang ditimbulkan ini bikin saya terjangkit insomnia.

Yang saya herankan para petinggi kelas tinggi dalam negeri ini selalu melirik mereka yang jadi pengusaha untuk menjadi penguasa (pemimpin yang memiliki wewenang), contohnya disahkannya ketua DPD yang baru (pengganti Irman Gusman) yang backgroundnya juga pengusaha. Pertimbangannya sih jelas yah, untuk menghindari korupsi. Karena orang yang jadi pengusaha tentu mapan dalam bidang ekonomi (privat). Kasarnya, kebutuhan dapurnya sudah terpenuhi, tinggal focus ke pelayanan negara saja. Tapi pada praktisnya, justru jabatan yang di perolehnya sebagai penguasa acap kali diselewengkan. Bisa saja si pengusaha ini menetapkan kontrak dengan perusahaan pribadinya itu. Matilah sudah peluang UMKM dalam negeri. Terbukti si penguasa kaya makin kaya, rakyat kecil makin susah cari usaha…dan saya terjangkit insomnia.

Penyelewengan kekuasaan untuk mendapat kepuasan dan hasil yang melimpah dalam ranah ekonomi pribadi macam ini yang mencerminkan sikap kurangnya pemahaman orang yang bersangkutan terkait ruang privat dan ruang sosial. Maka dari itu negara seharusnya memahami karakter calon pemimpin. Apakah pendidikan dasar kemanusiaan serta ruang privat dan sosial nya sudah terlihat mumpuni?

Ah, terlalu jauh saya berharap. Bukankah yang dipikirkan para petinggi tingkat tinggi dalam negeri itu hanya pencitraan melalui pembangunan yang nampak dan langgengnya proses distribusi? Belum ke ranah investasi pendidikan yang memang sebenarnya menjadi dasar citra suatu negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun