Mohon tunggu...
Tukang Ngopi
Tukang Ngopi Mohon Tunggu... lainnya -

Mengamati & mempelajari sosial masyarakat dengan secangkir kopi...\r\n\r\nBanyak bertanya, karena memang itu dipertanyakan..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi, Bebas Tanpa Batas?

26 Mei 2013   16:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:00 1687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secangkir kopi susu menemani saya menonton acara berita di televisi sore ini, sepintas saya selingi juga dengan melihat berita-berita melalui akun twitter media media berita di Indonesia dalam handphone. begitu pahit dan banyak pahitnya...bukan kopi nya, tetapi kabar berita yang disampaikan sebagian media massa.

Terkadang saya berfikir, apa tidak ada kabar berita "manis"  menyenangkan hati yang datang dari negeri ini? Kalau memang lebih banyak berita "pahit", kenapa bisa begitu...dan selalu begitu.

Dan akhirnya, seperti sebagian penulis-penulis di kompasiana sebelumnya, saya kembali menyalahkan Demokrasi. Maaf untuk kawan-kawan semuanya jikalau saya menyalahkan Demokrasi, saya juga ingin bebas tetapi saya melihat kebebasan inilah proses menuju kekacauan itu. Saya selalu mencoba untuk mengerti dan membela demokrasi, tetapi pada akhirnya ada rasa-rasa ragu dengan sistem ini.

Saat dibangku sekolah,  saya diberitahu bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi terpimpin berazaskan Pancasila, tetapi yang saya lihat sekarang terlalu Liberal. Sebenarnya saya sering bertanya dalam hati dan pikiran, sampai mana batas batas dan prinsip demokrasi yang lahir dari kota Athena ini. Jikalau Demokrasi ini betul betul suatu sistem kebenaran, kenapa tak kunjung benar jalan pemerintahan negara kita ?

Sistem Demokrasi yang dipuja-puja sebagian negara berkembang saat ini, dinegeri penciptanya Athena / Yunani habis dicaci maki dan ditinggalkan jauh jauh. Plato yang mengembangkan Ilmu Demokrasi, meragukan sistem tersebut dapat berjalan baik dan bertahan lama dalam suatu pemerinatahan negara. Dalam Bukunya Plato mengatakan : " …they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like.” (  Republic, Hal.11 ) yang maksudnya, mereka adalah orang-orang yang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang didalamnya boleh melakukan apa yang disukainya.

Plato (472-347 SM) mengatakan bahwa liberalisasi adalah akar demokrasi, sekaligus biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selama-lamanya. Dalam pemerintahan demokratis, kepentingan rakyat diperhatikan sedemikian rupa dan kebebasan pun dijamin oleh pemerintah. Semua warga negara adalah orang-orang yang bebas. Kemerdekaan dan kebebasan merupakan prinsip yang paling utama.Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terbatas. Akibatnya bencana bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah berbagai kerusuhan yang disebabkan berbagai tindakan kekerasan (violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy), kejangakkan/ tidak bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).

Sedangkan murid Plato, Aristoteles pun yang mati-matian menyempurnakan Ilmu Demokrasi dan pada akhirnya meragukan sistem pemerintahan tersebut. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai Mobocracy atau the rule of the mob. Ia menggambarkan demokrasi sebagai sebuah sistem yang bobrok, karena sebagai pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkhisme. Menurut Aristoteles bila negara dipegang oleh banyak orang (lewat perwakilan legislatif / parlemen) akan berbuah petaka. Dalam bukunya “Politics”, Aristoteles menyebut demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk (bad state). Menurutnya pemerintahan yang dilakukan oleh sekelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili kelompok mayoritas penduduk itu akan mudah berubah menjadi pemerintahan anarkhis, menjadi ajang pertempuran konflik kepentingan berbagai kelompok sosial dan pertarungan elit kekuasaan.

13695594052057799789
13695594052057799789

Menurut Plato, pada masa itu citra Athena benar-benar telah rusak akibat demokrasi. Ia menyaksikan betapa negara menjadi rusak dan buruk akibat penguasa yang korup. Karena demokrasi terlalu mendewa-dewakan (kebebasan) individu yang berlebihan sehingga membawa bencana bagi negara, yakni anarki (kebrutalan) yang memunculkan tirani. Kala itu, banyak orang melakuan hal yang tidak senonoh. Anak-anak kehilangan rasa hormat terhadap orang tua, murid merendahkan guru, dan hancurnya moralitas. Akhirnya demokrasi tidak mampu memberikan keamanan bagi rakyatnya. Plato, ialah tokoh dunia paling bersedih dan merasa dirinya paling bersalah saat melihat kehancuran Athena ditangan Sparta pada tahun 431-404 dalam perang Peloponnesia. Plato dalam bukunya Republic, mengatakan jika kekalahan Athena adalah akibat Sistem Demokrasi yang dijalankan kerajaan tersebut. Terlalu banyak orang yang berbicara di parlemen, terlalu banyak orang yang mengambil keputusan, terlalu banyak berdebat dan Athena tak menyadari jika Sparta sudah di depan gerbang mereka dengan pedang yang tajam. Pemikir liberal dari Perancis Benjamin Constan (1767-1830) berkata: ”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”

Dan diketahui bersama pada April 2013, Pemerintah Prancis telah melegalkan Undang-undang pernikahan sejenis sebagai penghormatan terhadap demokrasi, sedangkan di Amerika Serikat masih dibahas Undang-undang kebebasan penggunaan senjata api sebagai bentuk kebebasan demokrasi.

Lalu, bagaiamana dengan nasib demokrasi di negara kita tercinta Indonesia ini ? mau dibawa sampai mana batas demokrasinya. saat ini, Indonesia masih dipusingkan dengan permasalahan diskriminasi Kaum Syiah dan Ahmadiyah yang ingin menuntut kebebasan, mungkin 10 tahun lagi akan dipusingkan dengan tuntutan kaum Homo dan Lesbian yang ingin menuntut kebebasan Legal dan tuntutan dari masyarakat lainnya untuk kebebasan penggunaan senjata. ini bisa jadi loh...Demokrasi harus siap menerima setiap Kebebasan. hehe. Baiklah, maaf kalau ada salah kata. bukannya saya membatasi kebebasan, tetapi khawatir dengan kebebasan itu sendiri. salam.

- tukang ngopi -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun