Mohon tunggu...
Gian Darma
Gian Darma Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta

seorang yang suka seni dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Waspadai Narasi Pemecah

1 Februari 2024   23:50 Diperbarui: 1 Februari 2024   23:54 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang tak sadar, bahwa politik itu bukan sekadar sebagai ilmu, tetapi juga sebagai sebuah seni yang harus dipahami tidak saja dengan logika, namun dengan dan dari berbagai factor. Sehingga di politik satu ditambah satu bukan dua tapi bisa pada angka lain dimana situasi dan kondisi memungkinkan.

Dalam politik sering terjadi kejutan-kejutan terutama pada waktu yang tidak terduga. Inilah yang menyebabkan politik sangat tergantung pada situasi dan kondisi seperti yang saya kemukakan di atas. Sehingga ini yang menyebabkan politik terlihat sangat dinamis dan terkadang bergejolak.

Seperti yang terjadi di negara Indonesia kini. Tanpa dinyana banyak sekali kejutan-kejutan yang terjadi , dan sebelumnya tidak dinyana. Jika sebelumnya kita disibukkan dengan politik identitas yang berisi perbedaan ras, agama dll. Ini yang kemudian memicu perpecahan pada pilpres 2014, 2019 dan pilkada Jakarta 2017. Perpecahan ini lalu dipelihara oleh pihak-pihak yang kurang bertanggungjawab sehingga menjadi awet.

Kini perpecahan memang terjadi tapi tidak karena politik identitas, tapi memang murni karena pilihan politik dan permainan narasi serta algoritma yang dimainkan pihak-pihak tertentu sehingga ada kelompok yang selalu menonjol dan ada kelompok yang sering tidak menonjol.

Kita coba melihat pemilu yang terjadi di negara Filipina. Bagaimana algoritma berperan banyak sekali sehingga anak dari dictator Filipina Ferdinan Marcos terpilih menjadi presiden Filipina. Banyak pemilih dari anak Ferdinan Marcos (bon bon) adalah anak muda yang tidak mengetahui dengan jelas Sejarah masa lalu jejak dari sang dictator. Namun pada kenyataannya, bon bon lah yang terpilih menjadi presiden.

Algoritma melahirkan narasi-narasi yang terkadang menyesatkan dan sesungguhnya tidak perlu diindahkan orang. Namun itu yang terjadi ,bahwa algoritma berperan besar terhadap media sosial kita. Narasi yang berisi ujaran kebencian dan fanatisme buta terhadap keyakinan tertentu mulai terjadi beberapa bulan sebelum kontestasi.

Jika sekarang tidak melibatkan persoalan keyakinan yang sempit (fanatic) namun bergeser pada asumsi-asumsi tertentu soal calon presiden dan calon wakil presiden. Ini berlangsung secara massif dan "agak kejam" Seseorang menuduh ini itu di media sosial tanpa bukti bisa saja dipercaya oleh kelompok tertentu dengan penguatan narasi di sirkel mereka. Misalnya ujaran kebencian terhadap  kelompok A .

Jika ujaran kebencian ini berlangsung secara terus menerus dan mengalami penguatan -- mungkin berbentuk fanatisme dll-, maka bisa jadi satu kelompok menjadi sngat benci terhadap kelompok lain. Inilah kemudian terjadi polarisasi diantara masyarakat yang suilit disembuhkan.

Karena itu mungkin kita memang harus lebih peka dengan narasi-narasi pemecah dan tetap menjaga kerukunan pada tahun politik yang sarat muslihat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun