Untuk pertama kali dalam sejarah, Amerika Serikat akhirnya dipimpin juga oleh seorang presiden berjenis kelamin perempuan, yaitu Kamala Harris.
Ya, wakil presiden pertama perempuan negeri Paman Sam tersebut, rupanya kemarin (Jumat, 19/11/2021) secara konstitusional menjadi presiden pertama perempuan AS.
Jabatan presiden diemban Harris memang terbilang cukup singkat, yakni hanya selama 85 menit (1 jam 25 menit). Sehingga, bilamana hendak dicatat, maka Harris adalah presiden pertama perempuan, sekaligus presiden dengan masa jabatan tersingkat di AS.
"Wakil presiden akan bekerja dari kantornya di Sayap Barat. Presiden (Joe Biden) melanjutkan tugasnya pada pukul 11.35 (16.35 GMT)," kata Juru Bicara Gedung Putih, Jen Psaki (19/11).Â
Perlu diketahui, Harris "terpaksa" jadi presiden, atas penunjukan Joe Biden sendiri. Biden menunjuk Harris mengambil alih kekuasaan, lewat surat yang diserahkan langsung ke Kongres Senat.
Biden mengambil tindakan itu karena dirinya harus menjalani pemeriksaan medis rutin dan kolonoskopi yang mewajibkan anestesi (pembiusan) di Walter Reed Medical Center, Washington DC. Pemeriksaan dimulai pukul 10.10 (15.10 GMT).
Rupanya bukan semata keinginan Biden, tindakan pengalihan kekuasaan dari presiden ke wakil presiden adalah semacam kewajiban yang diamanatkan Konstitusi AS yang tertera pada Amandemen ke-25.
Amandemen ke-25 menjelaskan, wakil presiden "wajib" melaksanakan tugas presiden manakala sang presiden dinyatakan tidak mampu melayani.
Pentingkah jabatan Harris sebagai presiden yang waktunya sangat singkat itu diperhitungkan? Jawabannya, amat penting dan layak. Sebab, bukan masalah lamanya waktu, tetapi soal jabatan itu sendiri.
Maknanya, Harris bukan sekadar "Presiden Ad Interim", melainkan berlaku dan bertindak sebagai "Presiden Penuh", meski kenyataan menentukan jabatan tersebut hanya diemban sementara.
Pertanyaannya, mengapa AS membuat aturan (bagian konstitusi) demikian? Untuk diketahui, Harris bukanlah wakil presiden pertama yang menerima "amanat unik" itu, sepanjang sejarah kepemimpinan di AS.
Jauh sebelumnya, yakni pada tahun 1985, Wakil Presiden George H. W. Bush sempat "mencicipi" jabatan presiden dari Presiden Ronald Reagan.
Kemudian pada tahun 2002 dan 2007, dari Presiden George W. Bush ke Wakil Presiden Dick Cheney. Ketiga kasus ini terjadi disebabkan presiden menjalani pemeriksaan usus.
Pada tahun 2019 lalu, seharusnya terjadi pula pengalihan kekuasaan dari Donald Trump ke Mike Pence, di mana Trump disebutkan menjalani kolonoskopi. Namun Trump enggan melakukannya, sebaliknya menyembunyikan kabar pemeriksaan dirinya.
Kembali ke pembahasan menarik tadi, mengapa konstitusi AS mewajibkan presiden yang menjalani pemeriksaan kesehatan dan memerlukan anestesi, harus menanggalkan jabatannya?
Bukankah aturan semacam ini akan membuat presiden yang sedang berada di rumah sakit menjadi was-was karena dihadapkan pada ancaman pelengseran, baik disengaja maupun tidak?
Entah apa pertimbangan para penyusun konstitusi kala itu. Faktanya belum ada presiden AS yang lengser hanya karena menjalani kolonoskopi dan sejenisnya.
Di sini, jangan tanya mengapa Trump menolak patuh pada konstitusi. Barangkali Trump sungguh takut atau sekurangnya khawatir jabatan presiden dicabut darinya dengan sengaja.
Sedikit menebak, dan mudah-mudahan tepat, bahwa para presiden AS diwajibkan menanggalkan jabatan sementara (selama menjalani anestesi) sebagai persiapan untuk meninggalkan jabatan selama-lamanya.
Walaupun tindakan medis berupa anestesi bagi sang presiden diperkirakan hanya berlangsung beberapa jam, wajar dipahami dan diyakini bahwa waktu yang dianggap singkat itu adalah masa di mana sang presiden dinyatakan meninggal dunia (tidak sadar).
Oleh karena itu, pemberian jabatan hanya "Presiden Ad Interim" kepada wakil presiden kurang tepat, mengingat akan terjadi banyak hal di sebuah negara (dalam hal ini AS) di setiap jam, bahkan per detik.
Enyahkan dugaan soal lengsernya presiden karena disengaja. Misalnya ada pihak yang memanfaatkan kesempatan melakukan kudeta, mengakhiri hidup sang presiden (dengan cara apapun), dan sebagainya. Mungkin AS sudah memproteksi agar hal demikian tidak terjadi.
Namun bagaimana jika pada saat menjalani kolonoskopi, sang presiden ternyata meninggal dunia? Bayangkan kalau penyakitnya cukup parah. Bukankah proses pengalihan kekuasaan selanjutnya bakal berbelit dan memakan waktu?
Intinya, sederhana. Presiden yang akan dianestesi harus siap menerima konsekuensi di balik pemeriksaan medis dan kolonoskopi yang dijalaninya. Termasuk dengan senang hati menyerahkan tampuk kekuasaan kepada wakilnya.
Proficiat, Kamala Harris!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H