Apakah Indonesia dan Malaysia betul sudah sepaham menghadapi diskriminasi sawit? Agaknya, belum sepenuhnya. Bahwa kedua negara telah sama-sama melayangkan gugatan, hal itu tidak cukup. Wajib ada tindakan lebih supaya berhasil maksimal.
Pemerintah Indonesia dan Malaysia seharusnya tidak berjalan sendiri-sendiri, meski poin gugatan bermateri sama. Keduanya mesti membuat "gugatan bersama" dan mengatasnamakan dua negara melawan Uni Eropa. Bahkan bila perlu, mengajak serta negara lain penghasil sawit.
Kembali pada pokok pembahasan, strategi terbaru apa yang akan dilakukan Indonesia untuk menghadapi Uni Eropa? Strategi offensive. Jika selama ini Indonesia cuma membela diri (defensive), kali berikutnya akan melakukan serangan balik.
Maknanya, selain tetap menangkis kampanye hitam mengenai sawit, Indonesia bakal mempersoalkan sisi keburukan minyak nabati lainnya, yang sesungguhnya dimiliki beberapa negara Eropa.
Strategi baru tersebut dibeberkan oleh Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, pada Minggu (7/2/2021).
Menurut Eddy, minyak nabati seperti rapeseed jauh lebih berbahaya serta merusak keanekaragaman hayati (biodiversity) dan lingkungan, ketimbang sawit.
"Kalau di sini dinyatakan bahwa sawit merusak biodiversity, kita juga akan mempermasalahkan bagaimana dengan rapeseed di Eropa, pemanfaatan fertilizer mereka yang berdampak pada biodiversity laut. Kita akan mengubah strategi, akan attack seperti yang disampaikan Presiden," tutut Eddy.
Menyambung paparan Eddy, Airlangga menjelaskan bahwa komoditas rapeseed dan sejenisnya justru paling tidak efisien dalam penggunaan lahan. Sedangkan untuk sawit di Indonesia, pemerintah konsisten menjalankan program peremajaan dengan anggaran dana triliunan rupiah.
"Untuk menghasilkan minyak sawit 1 ton, dibutuhkan lahan 0,3 hektare. Sementara rapeseed oil butuh 1,3 hektare, sunflower 1,5 hektare dan soyabean 2,2 hektare," papar Airlangga.
Pertanyaannya, seberapa efektif strategi offensive untuk melawan Uni Eropa? Jawabannya, semua tergantung pada seberapa gigih pemerintah, serta berhasil tidaknya Indonesia dan Malaysia membentuk poros kekuatan bersama. Bersatu, bukan berjuang sendiri-sendiri. ***
Referensi: presidenri.go.id & KOMPAS.com