Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bikin Blunder, Satu dari Sekian Cara untuk Eksis di Masa Krisis

29 Januari 2021   14:39 Diperbarui: 30 Januari 2021   17:31 3328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Eiger dan surat keberatan terhadap salah seorang YouTuber | Gambar: Tribunnews

Namanya heboh di media sosial dan kini diangkat jadi salah satu topik berita oleh beberapa media. PT Eigerindo Multi Produk Industri atau kerap disingkat Eiger, disorot gara-gara mengirim surat keberatan kepada salah seorang YouTuber yang me-review produk kacamata.

Saya dan sebagian orang tentu tidak tahu persis, apa alasan atau latar belakang Eiger bertindak konyol dan akhirnya dianggap blunder. Saya sendiri sudah membaca isi surat keberatan tersebut, lalu surat klarifikasi dari Eiger.

Ditandatangani oleh HCGA & Legal General Manager, Eiger keberatan karena tayangan video buatan sang YouTuber tidak sesuai "harapan". Antara lain kualitas video kurang bagus, adanya suara di luar video utama yang cukup mengganggu, serta setting lokasi pengambilan video yang kurang pas.

"Apa hak Anda mengatur saya menggunakan barang yang sudah saya beli? Saya tidak menjelek-jelekkan produk Anda, mengapa Anda memprotes kualitas video serta cara saya mengambilnya?", kira-kira begitu ringkasan tanggapan sang YouTuber di akun media sosialnya.

Menyaksikan surat keberatan mereka viral, Eiger berikutnya menerbitkan surat klarifikasi, yang isinya membenarkan asal surat, meluruskan apa yang mereka maksud, dan meminta maaf atas penyampaian yang salah.

Menutup bunyi surat klarifikasi yang ditandatangani CEO, Eiger tak lupa berterima kasih kepada para "Eigerian" (pecinta produk) yang telah bersusah payah mengulas kelebihan produk mereka.

Benarkah Eiger sekonyol itu? Seburuk itukah manajamen dan koordinasi di internal mereka? Mungkinkah seperti yang dikira oleh sahabat saya, Kompasianer bernama Steven Chaniago, bahwa pengiriman surat keberatan dengan "bunyi aneh" itu disengaja?

Ada banyak kemungkinan. Bisa memang murni blunder, dan bisa juga sebuah kesengajaan. Atau malah kedua-duanya patut diduga blunder yang disengaja. Namun sekali lagi, yang paling tahu adalah pihak Eiger. Saya dan pembaca sekadar mengira-gira.

Di sini, saya tidak ingin membahas di sisi mana blundernya dan di sisi mana pula kesengajaannya. Hal yang pasti saya yakini, dan terbukti, bahwa sekarang Eiger mendapat "tempat istimewa" di media online.

Mari berhenti menyoal "keblunderan" Eiger. Toh persoalan sudah diselesaikan secara damai. Maknanya, tidak mungkin ada ruang tuntut-menuntut antara Eiger dan sang YouTuber.

Memposisikan maksud tulisan ini biar tidak siur, saya mau mengatakan bahwa langkah susulan Eiger, yang bilamana betul blunder (tak disadari), dengan cepat merespon baik keberatan balik dari sang YouTuber, sangat bagus.

Pemahaman saya berikut, tidak tertuju kepada Eiger (saja), melainkan juga terhadap perusahaan lain, bahwa terkadang aksi blunder diperlukan sebagai salah satu (menegaskan: salah satu) bagian strategi marketing. Cuma, tergantung bagaimana me-manage-nya (baca: mengemas).

Dalam kondisi normal, aksi marketing kiranya cukup menggunakan pola biasa. Ya, seperti desain awal perusahaan. Namun tidak di saat kondisi sebaliknya, yaitu tidak normal.

Bukan menduga Eiger tengah terlilit krisis ide marketing, apalagi memastikan sedang kekurangan konsumen, akan tetapi sebuah "konflik" yang datang tiba-tiba mestinya dapat dijadikan peluang. Protes sang YouTuber dan tanggapan netizen harus dipaksa masuk ke dalam daftar analisis SWOT.

Entah jadi tanggungjawab divisi apa (apakah marketing, public relations, dan apalah namanya), saya yakin Eiger sudah terbiasa dengan manajemen konflik. Bukankah Eiger sudah eksis sejak 1993?

Menciptakan sendiri atau berharap datang tanpa diprediksi, keblunderan harus bisa dikelola menjadi berkah oleh sebuah perusahaan. Tidak sekadar meratap, menghakimi pejabat divisi terkait, atau malah mengecam publik.

Kembali ke judul tulisan, apa betul keblunderan baik untuk dibuat? Bisa baik, bisa juga tidak. Tergantung kondisi (pasar dan sosial), kemampuan manajemen perusahaan, dan misi khusus di baliknya. Pastikan ketiganya terkalkulasi dan terkoordinasi.

Membaca kondisi misalnya, apakah keblunderan berdampak positif terhadap brand dan produk perusahaan. Jangan dibuat sementara tidak mendesak. Kalau keduanya "belum" bermasalah (berdasarkan hasil evaluasi manajemen), maka sebaiknya tidak dilakukan.

Berikutnya, ketika aksi "blunder terencana" sudah ada, maka berarti "divisi khusus" telah pula dibekali langkah-langkah terencana. Kehebohan yang sengaja dibuat jangan sampai dibiarkan bergerak liar. Bahkan semua level manajemen harus sudah siap menyambut umpan balik.

Selanjutnya menyangkut misi khusus. Di kepentingan inilah perlunya pembacaan kondisi dan kepastian kemampuan manajemen (konflik dan isu). Apa misi besar yang ingin dibidik?

Lagi-lagi misi tidak semata untuk mencari popularitas. Buat apa dibicarakan banyak orang jika akhirnya tidak berkontribusi meningkatkan jumlah dan nilai penjualan produk?

Misi sekadar populer tidak masalah bagi perusahaan (sekelas Eiger) yang kian punya konsumen fanatik, yang lebih peduli kualitas produk ketimbang isu-isu buruk, namun fatal ditiru oleh perusahaan-perusahaan lain yang nyata belum memiliki keistimewaan serupa.

Boleh saja dilakukan, asalkan terencana. Masa pandemi Covid-19 belum tentu jadi momen tepat untuk mengambil panggung eksistensi. Sila cari "masa krisis" lain. Bukankah demikian? ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun