Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan, selama 20 tahun (2002-2021) pemerintah pusat menggelontorkan dana otonomi khusus (DOK) untuk Papua dan Papua Barat dalam jumlah fantastis. Totalnya sebanyak Rp 138,65 triliun.
Pemberian DOK tersebut merupakan konsekuensi atas status Papua dan Papua Barat sebagai daerah otonomi khusus. Dana diberikan untuk mempercepat pembangunan, sehingga keduanya mampu bersanding dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Tidak hanya DOK, mulai 2005 sampai sekarang, Papua dan Papua Barat juga mendapat Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) serta belanja kementerian dan lembaga. Jumlah TKDD sebesar Rp 702,3 triliun, sedangkan belanja K/L sebesar Rp 251,29 triliun.
"Papua dan Papua Barat ini mendapatkan pemihakan lebih besar dari daerah lain seperti Aceh, Kalimantan Timur, Maluku, dan seterusnya. Dan lebih besar dari daerah termiskin dan lain-lainnya," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja Komite I DPR RI secara virtual, Selasa (26/1/2021).
Artinya, jika ditotal keseluruhannya, maka jumlah dana bantuan pemerintah pusat ke Papua dan Papua Barat, baik langsung maupun tidak langsung yakni sebanyak Rp 1.092,24 triliun. Angka yang luar biasa, bukan?
Dan rupanya, DOK kepada Papua dan Papua Barat ini telah diputuskan pemerintah pusat untuk diteruskan kembali hingga 2041, atau selama 20 tahun mendatang. Jumlahnya turut dinaikkan.
"Dalam hal ini ada peningkatan dana otsus 2 persen menjadi 2,5 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional. Kenapa kami usulkan 20 tahun lagi, karena kami akan memberikan kesempatan lagi bagi Papua dan Papua Barat untuk mengejar, karena bagian dari NKRI," lanjut Sri Mulyani.
Pertanyaannya, sejauh manakah sejumlah dana tadi mengubah wajah Papua dan Papua Barat menjadi baik? Bagaimana efektivitas dan efesiensi penggunaannya?
Mengapa persoalan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan masih berlangsung di sana, dan bahkan semakin memburuk? Bukankah misi untuk memperbaiki ketiga aspek tersebut dijadikan dasar penggunaan dana? Lebih jelas kondisi ketiganya, sila klik ini.
Mungkinkah karena tidak tepat sasaran atau terjadi penyalahgunaan sehingga pemberian dana terbukti dipersoalkan? Buktinya hari ini, Rabu (27/1/2021), ada aksi unjuk rasa dari dua kubu berlawanan di depan Gedung DPR RI. Kubu pro dan kontra.
Betulkah yang dikatakan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bahwa sumber masalahnya ada di tata kelola keuangan, di mana terjadi penyimpangan penggunaan dana, maka dengan begitu perlu pengawasan ekstra?
"Kita melihat ada masalah tata kelola yang menjadi persoalan utama. Ini menjadi perhatian ke depan. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Kemudian peningkatan pengelolaan keuangan, mulai perencanaan hingga pengawasan," ujar Tito dalam rapat bersama Sri Mulyani.
Penilaian Tito agaknya betul. Sebab, untuk dana desa di Papua dan Papua Barat (rata-rata per desa Rp 900 juta) tiap tahun saja belum bisa dikelola dengan baik, apalagi DOK.
Kenyataannya misalnya diungkap sendiri oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kampung Papua, Donatus Mote, bahwa dana desa kerap digunakan seenaknya para kepala kampung dan menolak diintervensi (diawasi).
"Karena lemahnya aparatur kampung yang memiliki tanggungjawab dalam mengelola dana desa. Belum lagi kendala lain, aparat kampung (kepala kampung) tidak mau diintervensi," ungkap Mote.
Kejadian fatal berikutnya, ternyata sebagian dana desa berhasil dirampas oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)Â untuk membeli senjata. Mereka menunggu di setiap kampung dan memberi ancaman.
"KKB ini biasanya setelah mengetahui pencairan dana desa, akan menunggu di perkampungan. Ketika bertemu aparat desa, mereka akan meminta sebagian dana tersebut. KKB ini mengancam dengan senjata kalau tidak diberi sebagian dana itu," tutur Bupati Intan Jaya, Natalis Tabuni (5/11/2020).
Kesimpulannya, misi di balik pemberian dana bagi Papua dan Papua Barat belum tercapai, kalau tidak mau disebut gagal. Dana ribuan triliun rupiah tidak berhasil mengangkat kehidupan masyarakat. Justru "terpakai" pula oleh KKB untuk memerangi pemerintah.
Lalu bagaimana ke depannya? Apakah pola lama masih dipertahankan? Sebaiknya, tidak. Dana jangan asal diberikan. Pemerintah pusat wajib mengontrol ketat.
Persis yang dikatakan Tito, harus ada perencanaan jelas dan pengawasan serius. Pemerintah daerah mesti menyusun target penggunaan dana secara rinci, untuk diterima dan diawasi pemerintah pusat. Bila perlu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlibat aktif mengawasi.
Dana mengatasnamakan warga Papua dan Papua Barat, sementara yang menikmatinya bukan mereka. Sila pemberian dana dilanjutkan, tetapi jangan lupa memberi perhatian ekstra. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H