Sejak 2 Maret 2020, Indonesia "resmi" dilanda pandemi Covid-19. Artinya, sampai sekarang sudah berjalan lebih dari sepuluh bulan. Jumlah korban terpapar cukup banyak, dan mungkin akan semakin banyak.
Kasus positif hari ini, Selasa (26/1/2021) ternyata sudah mencapai 1.012.350, terjadi penambahan sebanyak 13.094 kasus, di mana kemarin masih 999.256 kasus.
Entah sampai kapan pandemi berakhir, yang pasti hikmah kehidupan yang "ditawarkannya" tidak boleh kita abaikan. Pandemi mengajarkan kita untuk tetap bersyukur, menghargai kesehatan, serta memaksa agar bertindak inovatif dan kreatif.
Dua poin terakhir menarik, yaitu inovatif dan kreatif. Karena pandemi, teknologi di bidang kesehatan dan farmasi menjadi berkembang, maju beberapa langkah dibanding sebelumnya. Banyak perusahaan terkait berlomba menciptakan alat, vaksin, dan obat. Ini namanya inovasi.
Lalu bagaimana dengan sisi kreativitasnya? Ya, pandemi juga membuat kita berpikir keras, bagaimana memanfaatkan segala sesuatu yang kita miliki agar berguna dalam membantu penanganan pandemi.
Aksi sederhana menangani pandemi yakni tidak menjadi bagian dari penyebar virus. Maka dari itu, sebagian besar aktivitas, kita langsungkan dari rumah. Memfungsikan rumah sebagai tempat tinggal sekaligus ruang kerja atau belajar. Terpaksa kreatif. Kreatif terpaksa.
Kreatif berarti mencari solusi atas suatu kondisi yang serba terbatas. Tentu di antara Anda ada yang paham maksud tulisan ini, lewat judul "Sulaplah Gedung Sekolah Nganggur Itu Jadi Rumah Sakit Darurat".
Belakangan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluh terbatasnya kapasitas ruang perawatan bagi para pasien Covid-19 di rumah sakit. Keterisian ruang disebut sudah lebih dari 80 persen. Mengapa?
Sebab, selain warga ber-KTP DKI Jakarta, para pasien juga ternyata berasal dari wilayah-wilayah kota penyangga, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Ujungnya, Pemprov DKI Jakarta berencana "angkat tangan", dan meminta pemerintah pusat memegang kendali secara penuh.
Maksudnya apa ini? Mengapa Pemprov DKI Jakarta tidak berkoordinasi dengan Pemprov Jawa Barat dan Pemprov Banten untuk mencari solusi secara bersama-sama? Bukankah pemerintah pusat saat ini juga tengah pusing menangani musibah bentuk lain di berbagai daerah?
Khususnya Pemprov DKI Jakarta, mengapa tidak menyulap gedung-gedung milik pemerintah yang "tidak berpenghuni" untuk jadi rumah sakit darurat? Tidakkah dipikir bahwa Wisma Atlet di Kemayoran saja bisa difungsikan sementara sebagai tempat perawatan pasien?
Contohnya, ada sekian ratus gedung sekolah yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menampung dan merawat pasien, mengingat proses belajar-mengajar masih menggunakan metode jarak jauh.
Ayo manfaatkan gedung-gedung sekolah itu. Jangan dibiarkan kosong dan tidak berfungsi. Sulap tanpa merombak bentuk ruangan. Cukup diisi dengan ranjang dan alat-alat kesehatan yang dibutuhkan.
Jangan sampai pasien terlantar, tidak terakomodir, dan tidak sembuh, hanya gara-gara tidak adanya tempat tidur. Bahwa keluhan berikutnya tentu soal peralatan dan tenaga medis, hal itu pun bisa dicari solusinya.
Jadi, dengan sudah adanya solusi masalah keterbatasan ruang perawatan (yaitu di sekolah kosong), pemerintah tinggal menyediakan peralatan dan tenaga medis di sana.
Menyewa hotel dan aula umum tidak cukup untuk mengatasi persoalan jumlah pasien yang membludak. Apalagi tetap mengeluarkan biaya, yang sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk keperluan yang lebih penting.
Saran ini tidak hanya ditujukan buat Pemprov DKI Jakarta, melainkan juga kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah lain. Jangan ada satu pun yang mengangkat "bendera putih". Tetaplah kreatif. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H