Membaca berita dan menonton tayangan video yang dimuat KOMPAS TV pada hari ini, Sabtu (23/1/2021), tentang paparan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin soal perkembangan testing Covid-19, menjadi jelas bahwa ternyata ada "penyimpangan" data kasus Covid-19 di Indonesia.
Dalam acara virtual "Vaksin dan Kita" yang diselenggarakan oleh Komite Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Daerah Jawa Barat, Jumat (22/1/2021), Budi menyampaikan, metode testing selama ini terbukti salah secara epidemiologi, yang akhirnya berpengaruh pada pendataan.
Budi menjelaskan, menurut ilmu epidemiologi, testing seharusnya dilakukan kepada para suspek Covid-19, namun faktanya kebanyakan menyasar orang-orang tertentu saja. Ia mencontohkan dirinya yang bisa mengikuti Swab Test sekurangnya lima kali dalam seminggu.
"Testing-nya banyak, kenapa (kasus positif Covid-19) naik terus? Habis yang dites orang kayak saya. Saya setiap mau ke presiden, dites. Seminggu bisa lima kali karena masuk istana. Emang benar begitu? Pastinya tak begitu harusnya," kata Budi.
Artinya, dalam paparannya, Budi mempersoalkan kenaikan kasus positif Covid-19 serta pola pelaksanaan testing. Apakah maksudnya bahwa data kasus selama ini meragukan? Hemat saya, agaknya, arahnya ke sana.
Belakangan, kasus positif Covid-19 cenderung naik, menyentuh angka belasan ribu. Misalnya hari ini, jumlahnya 12.191 kasus. Sehingga total terhitung sejak 2 Maret 2020 lalu menjadi 977.474 kasus.
Berangkat dari pengakuan Budi, maknanya adalah, jangan-jangan betul, ratusan ribu kasus positif tersebut "disumbang" sebagian orang. Coba dihitung berapa orang "sejenis" Budi yang dites berkali-kali, tidakkah hasilnya berpengaruh pada laporan data tiap saat?
Di sinilah letak "penyimpangan" data yang dimaksud. Maka, sebenarnya bukan cuma data kasus positif yang dipengaruhi, kesalahan testing juga turut "mengacaukan" data kasus negatif.
Pertanyaannya, berapa sesungguhnya jumlah individu yang berhasil ditesting? Berapa banyak kasus positif dan kasus negatif? Ini harus diungkap ke publik. Jangan sampai kasus itu hanya berasal dari segelintir orang.
Mengapa data kasus semakin bertambah, baik positif maupun negatif? Hal itu terjadi karena adanya kegiatan khusus dan meningkatnya mobilitas, di mana mensyaratkan testing Covid-19.
Kemudian, termasuk juga ketika sebagian warga, entah karena cemas atau faktor lain, selalu konsisten menjalani tes untuk memastikan kondisi kesehatannya. Tidakkah semua hasilnya (positif atau negatif) selalu masuk data yang dilaporkan setiap hari?
Jangan dipahami, berarti tidak perlu testing Covid-19 individu di kegiatan khusus, manakala bepergian, serta untuk kepentingan lainnya. Tidaklah seperti itu. Semua dapat dilakukan, asalkan datanya dipilah-pilah.
Seseorang yang berkali-kali menjalani testing, di mana hasilnya selalu positif atau negatif, seharusnya tidak dimasukkan ke dalam data yang dipublikasi, seolah-olah kasus individu baru.
Mudah-mudahan dengan Budi telah mengungkap hal ini, metode testing dan pencatatan kasus Covid-19 bisa diperbaiki dan digunakan sebagaimana mestinya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H