Sepertinya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak kehabisan ide dalam mempercantik wilayah ibu kota. Program beautifikasi untuk menjadikan beberapa lokasi tertentu terlihat "instagramable" terus dijalankan.
Kalau dulu Jakarta sempat punya 2 (dua) ikon menarik yaitu rangkaian bambu getah-getih dan tumpukan batu bronjong (gabion), di mana keduanya berlokasi di Bundaran Hotel Indonesia, sekarang ada lagi, yakni atap warna-warni.
Atap warna-warni hasil pengecatan ini dibuat di perumahan warga di sekitar flyover Tapal Kuda, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Pemprov DKI Jakarta mengaku pengecatan terlaksana atas hasil kolaborasi mereka bersama Dewan Kesenian Jakarta, perusahaan produksi cat, dan warga.
Apakah artinya Pemprov DKI Jakarta tidak mengeluarkan dana sepeser pun? Tidak ada yang tahu pasti. Lagipula rincian pengeluaran pelaksanaan program tidak dibuka ke publik. Yang dikabarkan hanya jumlah cat yang dihabiskan, yaitu sebanyak 8 ribu liter.
Mudah-mudahan betul APBD tidak ikut dikuras, sehingga tidak seperti getah-getih yang pernah menelan dana Rp 550 juta dan batu bronjong sebesar Rp 150 juta.
Sebenarnya masih ada satu lagi yang sempat "dipaksa" jadi ikon Jakarta, yakni pajangan pohon imitasi di sepanjang Jalan Thamrin, dengan total biaya Rp 2,3 miliar. Artinya, hadirnya atap warni-warni, berarti Jakarta sudah (pernah) punya empat ikon menarik.
Jiwa seni Gubernur Anies memang luar biasa. Bahkan di saat pandemi Covid-19 saja, beliau masih memikirkan cara mempercantik rumah-rumah warga. Apalagi didukung produsen cat, sebagai bagian CSR perusahaan, tentu patut diapresiasi.
Cuma, pertanyaannya adalah: Mengapa harus di rumah warga? Bagaimana cara menikmati pemandangan "menakjubkan" itu? Apa dampak lebih bagi warga selain pemandangan yang diabadikan lewat foto atau video?
Pertanyaan di atas kiranya perlu dijawab oleh pejabat Pemprov DKI Jakarta, khususnya Gubernur Anies. Maksudnya, jangan nanti ke depan nasib atap warna-warni itu serupa dengan yang dialami getah-getih, batu bronjong, dan pohon imitasi. Tidakkah ketiganya sudah lenyap tanpa jejak?
Mengapa bukan di lokasi lain? Mengapa harus dekat flyover? Apakah maksudnya bahwa untuk menikmati pemandangan dan mengambil gambar, maka orang-orang harus berdiri di flyover? Tidakkah mengganggu lalu-lintas?