Setelah Presiden Joko Widodo dan sebagian perwakilan kalangan menerima vaksin Covid-19 pada Rabu (13/1/2021) kemarin, artinya proses pelaksanaan program vaksinasi nasional secara resmi telah dimulai.
Mudah-mudahan dengan terlaksananya vaksinasi, ke depan masyarakat menjadi "agak kebal" terhadap paparan Covid-19, sehingga aktivitas sehari-hari dapat dijalankan lebih leluasa, meski tetap saja harus patuh pada protokol kesehatan.
Namun demikian, mesti diakui bahwa beberapa pihak rupanya masih khawatir menerima vaksin. Tentu ada banyak alasan di baliknya. Di antaranya misalnya, ragu akan kualitas vaksin, takut mengalami efek samping, dan sebagainya.
Akan tetapi, seharusnya beragam alasan tadi tidak boleh menghambat pelaksanaan vaksinasi. Mendapat vaksin bukanlah sebatas hak, melainkan juga kewajiban. Lewat vaksinasi, seseorang diharapkan sehat, untuk ikut menjaga kualitas hidup orang lain di sekitarnya.
Lagi pula, bukankah Presiden Jokowi dan sebagian orang sudah bersedia divaksin? Mengapa harus khawatir? Tidakkah disadari bahwa bilamana muncul efek samping, maka yang bertanggungjawab adalah pemerintah?
Jadi, biarkan pemerintah menjalankan kewajibannya. Yakinlah, pemerintah tidak mungkin memberikan vaksin berkualitas rendah atau berbahaya bagi warga.
Sila bantah "tebakan" saya, bahwa terkadang seseorang takut divaksin tidak semata karena khawatir kualitas atau efek samping vaksinnya, tetapi ngeri melihat jarum suntik. Benarkah begitu? Sila pembaca menjawab dalam hati masing-masing.
Tidak bermaksud meremehkan keberanian orang menghadapi sesuatu yang mengerikan, tetapi ada fakta jika sebagian di antaranya memang takut disuntik ketimbang diterjang peluru.
Jujur, kalau boleh memilih, saya ingin divaksin menggunakan "alat lain" daripada lewat suntikan. Seandainya vaksin bisa diminum langsung, saya mau melakukan itu.
Sebab, jangankan jarum suntik yang dibenamkan di lengan, ujung blood lancet pun membuat badan saya keringat dingin, gelisah, dan ingin menghindari pemeriksaan kesehatan darah.
Saya berharap tidak ada yang memberi saya nasihat soal "kengerian" jarum suntik. Saya punya pengalaman banyak menyaksikan orang menolak disuntik, sewaktu saya masih berkarya sebagai analis di beberapa rumah sakit.