Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Buah Larangan Ekspor Nikel, Investor Asing Serbu Indonesia

21 Desember 2020   20:19 Diperbarui: 23 Desember 2020   05:33 4095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Feronikel di tangan salah seorang pekerja di pabrik feronikel Antam di Pomalaa, Sulawesi Tenggara | Dok. INALUM via KOMPAS.com

Tinggal menghitung hari, kebijakan pemerintah Indonesia melarang ekspor nikel ke luar negeri akan genap berjalan satu tahun pada awal 2021, terhitung sejak 1 Januari 2020.

Larangan ini tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambahan Mineral dan Batubara.

Seperti diketahui, sebelum kebijakan tersebut resmi diberlakukan, blok dagang Uni Eropa yang beranggotakan 28 negara, telah melayangkan protes kepada Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).

Uni Eropa menggugat Indonesia lewat surat ke WTO pada 22 November 2019. Kebijakan Indonesia digugat karena dianggap tidak adil dan berpotensi melumpuhkan industri baja dunia, khususnya di Eropa.

Betapa tidak, 27 persen pasokan bahan baku nikel ke berbagai negara dikuasai Indonesia. Dan dari sekian banyak cadangan nikel dunia, 23,7 persen tersimpan di Indonesia, dengan total cadangan mencapai 11,88 miliar metrik ton.

Maka beberapa waktu lalu, menanggapi rencana protes dan gugatan Uni Eropa, Presiden Joko Widodo mengaku, pemerintah Indonesia tidak gentar atau takut. Beliau mengatakan, langkah yang diambil Indonesia merupakan bagian dari strategis bisnis.

Jokowi menegaskan, sikap Uni Eropa harus siap dihadapi Indonesia. Karena yang terpenting adalah, bagaimana supaya kekayaan alam Indonesia memperoleh nilai tambah.

"Digugat ke WTO, gak apa, kita hadapi. Kalau sudah digugat, gak apa. Jangan digugat terus grogi, enggak. Kita hadapi, karena memang kita ingin bahan mentah ini ada added value-nya," kata Jokowi, Kamis (12/12/2019).

Pertanyaannya, dengan memutuskan tidak ekspor, bagaimana cara Indonesia mendapatkan nilai tambah dari nikel? Jawabannya, Indonesia melakukan program hilirisasi, dengan membangun smelter atau pabrik pengolahan sekaligus pemurnian.

Ada sebanyak 31 perusahaan ditunjuk untuk membangun smelter. Dua di antaranya yaitu PT Vale Indonesia dan PT Aneka Tambang.

Semua perusahaan yang ditunjuk diminta mengolah bahan baku nikel menjadi feronikel, bahkan sampai ke bentuk stainless steel atau baja anti karat.

Apabila nikel yang selama ini diekspor diolah langsung jadi feronikel, maka harganya bisa 10 kali lipat. Dan jika diolah lagi menjadi stainless steel, tentu harganya semakin tinggi, 19 kali lipat.

Kemudian, keuntungan bagi Indonesia bukan cuma soal nilai tambah, melainkan juga terbukanya lapangan kerja yang cukup luas. Beroperasinya puluhan pabrik tadi pasti mampu menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit.

Maknanya, kebijakan larangan ekspor nikel mentah ke luar negeri tidak bermaksud mengganggu industri baja dunia, tetapi lebih kepada bagaimana Indonesia memanfaatkan potensi bisnis demi keuntungan negara dan kesejahteraan masyarakat.

Investor Asing Serbu Indonesia

Hal lain yang perlu dipahami bahwa pada 2027, era kendaraan listrik akan dimulai. Dan salah satu pemainnya adalah Uni Eropa. Maka patut dimengerti jika Uni Eropa akhirnya merasa terganggu atas adanya larangan ekspor nikel oleh Indonesia.

Nikel yang dijuluki "the mothers of industry" merupakan tulang punggung industri otomotif. Di samping bermanfaat usai berwujud stainless steel, 6 persen bahan dasar nikel berguna dalam pembuatan baterai.

Indonesia tidak mau bertindak sebatas pemasok bahan baku, terlebih menjadi penonton manakala era baru itu berlaku. Sehingga, pemerintah pun cepat berhitung, agar pabrik baterai listrik dan kendaraan listrik hadir di tanah air.

Tahukah bila yang 'kecewa' terhadap Indonesia bukan hanya Uni Eropa? Malaysia juga demikian. Mantan Perdana Menteri Malaysia, Najab Razak bahkan menulis status rasa 'iri' di Facebook.

Najib menyentil pemerintah Malaysia karena iri melihat Indonesia yang dilirik beberapa perusahaan raksasa dunia. Perusahaan yang disebut Najib, antara lain Google, Amazon, dan Tesla.

"Tesla akan ke Indonesia. Amazon akan ke Indonesia. Google akan ke Indonesia. Apa yang sudah berlaku?," tulis Najib akun Facebook miliknya bernama @najibrazak, Senin (14/12/2020).

Perlu diingat, untuk urusan kerjasama dengan perusahaan pertama yang disebut Najib, yaitu Tesla, tengah dijajaki Indonesia. Bahkan Presiden Jokowi langsung turun tangan menelepon CEO Tesla, Elon Musk, pada 11 Desember 2020.

Hasilnya, Elon Musk berjanji bakal mengirim tim khusus ke Indonesia pada Januari 2021. Ya, Tesla memang lagi mengembangkan industri mobil listrik dan komponen utama baterai listrik.

Kedua industri sasaran Tesla jelas membutuhkan nikel sebagai bahan baku. Dan Indonesia amat cerdik memanfaatkan potensi dan peluang itu. Mudah-mudahan saja kerjasama investasi antara Tesla dan Indonesia sungguh terwujud.

Intinya, kepentingan besar pemanfaatan nikel oleh Indonesia ada dua, yaitu pengembangan kendaraan listrik dan produksi baterai listrik. Salahkah Indonesia mengatur sendiri kekayaan alamnya? Tentu, tidak.

Khusus Tesla, Indonesia berharap investasi di dua kepentingan tersebut disetujui. Namun, tahukah bahwa masih ada perusahaan asing lain yang turut berminat berinvestasi di Indonesia?

Belum ada kabar seperti apa perkembangan terbaru. Yang jelas, sekurangnya terdapat lima nama perusahaan lagi. Satunya sudah mendirikan pabrik mobil listrik, yaitu Hyundai Motor Company, dengan jumlah investasi sebesar Rp 22 triliun.

Sementara keempat perusahaan berikutnya adalah China's Contemporary Amperex Tecnhology Co. Limited (CATL) dengan komitmen investasi Rp 70,6 triliun untuk pabrik baterai lithium ion.

Selanjutnya LG Chem Ltd dengan komitmen investasi Rp 130 triliun untuk pabrik baterai, Volkswagen dengan komitmen tahap awal investasi Rp 14 triliun untuk pabrik baterai, dan BYD Company Ltd yang tengah dijajaki nilai investasinya.

Kiranya ke depan masih akan ada lagi perusahaan asing yang mau berinvestasi di Indonesia. Bukankah hal ini patut disebut "buah manis" dari kebijakan larangan ekspor nikel?

Bayangkan, belum genap setahun berlaku larangan itu, namun investor dan produsen asing sudah antri. Artinya, tidak butuh waktu panjang bagi Indonesia untuk unjuk diri sebagai calon pemain penting industri kendaraan listrik dan baterai listrik di masa depan.

Bayangkan pula seandainya semua investasi terealisasi dan pembangunan pabrik terwujud, bukankah lapangan kerja bagi tenaga terampil Indonesia semakin terbuka lebar?

Semoga pandemi Covid-19 segera teratasi, sehingga perekonomian dan bisnis Indonesia lekas membaik. ***

Pustaka: [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun