Dalam sepuluh hari terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa dibilang sedang "panen raya" dan lagi mujur. Betapa tidak, sejak Rabu, 25 November 2020 sampai dengan Sabtu, 5 Desember 2020, penyidik KPK telah berhasil menetapkan sebanyak 20 orang sebagai tersangka kasus korupsi.
Pertama: Rabu, 25 November 2020, yakni kasus dugaan suap perizinan ekspor benih lobster, dengan 7 tersangka antara lain Edhy Prabowo (Menteri KKP), Safri (staf khusus Menteri KKP), Ainul Faqih (staf khusus istri Menteri KKP), Andreau Pribadi Misata (staf khusus Menteri KKP sekaligus Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas), Siswadi (pengurus PT Aero Citra Kargo), Suharjito (Direktur PT Duta Putra Perkasa), dan Amiril Mukminin (sekretaris pribadi Menteri KKP).
Kedua: Jumat, 26 November 2020, yakni kasus dugaan suap perizinan pengembangan Rumah Sakit Kasih Bunda Cimahi, dengan 2 tersangka antara lain Ajay Muhammad Priatna (Wali Kota Cimahi), dan Hutama Yonathan (Komisaris RS Kasih Bunda Cimahi).
Ketiga: Jumat, 4 Desember 2020, yakni kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Pemkab Banggai Laut, dengan 6 tersangka antara lain Wenny Bukamo (Bupati Banggai Laut), Recky Suhartono Godiman (Komisaris Utama PT Alfa Berdikari Group), Hengky Thiono (Direktur PT Raja Muda Indonesia), Hedy Thiono (Komisaris PT Bangun Bangkep Persada), Djufri Katili (Direktur PT Antarnusa Karyatama Mandiri), dan Andreas Hongkiriwang (Direktur PT Andronika Putra Delta).
Keempat: Sabtu, 5 Desember 2020, yakni kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan Covid-19, dengan 5 tersangka antara lain Juliari Peter Batubara (Menteri Sosial), Matheus Joko Santoso (Kepala Seksi Pemberdayaan Sumber Daya Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos), Adi Wahyono (Kepala Biro Umum Sekretariat Jenderal Kemensos), Ardian IMÂ (swasta), dan Harry Sidabuke (swasta).
Dari sekian jenis kasus di atas, kiranya yang menjadi objek perhatian publik adalah kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan Covid-19 di Kemensos oleh kelima tersangka.
Belum jelas berapa jumlah kerugian negara atau uang yang dikorupsi, namun pihak KPK menaksir sekitar Rp 17 miliar. Mengapa perhatian publik tersita? Sebab, kasus di Kemensos ini tergolong luar biasa.
Bukan hanya karena nominal uangnya yang fantastis, tetapi dilakukan oleh mereka yang seharusnya berjiwa sosial tinggi. Ditambah lagi uang yang dikorupsi adalah dana penanggulangan bencana nasional kategori non alam (Covid-19) dan bersifat global.
Apa yang diperhatikan publik? Yaitu, bukan sosok pelaku atau bagaimana uang dikorupsi, melainkan hukuman yang bakal dijatuhkan hakim terhadap para pelaku.
Mungkinkah majelis hakim Pengadilan Tipikor untuk pertama kalinya menjatuhkan vonis hukuman mati bagi seseorang yang terbukti korupsi dalam "keadaan tertentu"?
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berbunyi:
Ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun atau paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Ayat (2): Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dijelaskan, yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Bagian ayat mana yang akan digunakan dan mengapa harus demikian? Jawabannya, semua tergantung pertimbangan, kebijaksanaan, dan keputusan hakim, setelah para tersangka menjadi terdakwa menuju terpidana.
Majelis hakim yang berhak memutuskan, mau menggunakan ayat mana (mengabulkan dakwaan dan tuntutan apa, serta seberapa lama dan besar hukuman). Dan diketahui, yang berkewenangan mengajukan dakwaan dan tuntutan yaitu jaksa KPK.
Maka dari itu, untuk memutus perkara, hakim bergantung pada dakwaan dan tuntutan jaksa yang diharapkan berdasar (sesuai fakta, bukti, dan sebagainya) dan turut dikuatkan pendapat para ahli.
Menegaskan kembali, yang berkewenangan adalah jaksa dan hakim, bukan lembaga lain maupun rakyat. Pernyataan Presiden Joko Widodo di acara Hakordia pada Senin, 9 Desember 2019 lalu, bahwa hukuman mati bisa diterapkan "sepanjang dikehendaki rakyat", agaknya keliru.
Sulit membayangkan bila penerapan hukuman mati mesti tergantung desakan mayoritas warga. Apakah artinya rakyat harus berdemonstrasi? Bukankah itu berarti intervensi proses hukum? Bukankah pula bisa saja terselip kepentingan tertentu (individu dan kelompok) di dalamnya?
Usai menyusun dakwaan, entah tuntutan apa saja yang kemudian diajukan jaksa kepada hakim. Yang jelas, seharusnya dari pertimbangan salah satu ayat dalam Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 2001.
Seandainya jaksa menggunakan ayat 1, maka tuntutan hukuman kepada para terdakwa dalam bentuk pidana penjara berkisar 4 sampai 20 tahun atau seumur hidup, serta tetap membayar denda sesuai batasan yang ditentukan.
Mengulang pertanyaan, akankah jaksa menuntut hukuman mati seperti terdapat pada ayat 2? Atau jika tidak dituntut jaksa, mungkinkah majelis hakim memanfaatkan kebebasan dan kemandirian mereka untuk menerapkan sanksi maksimal tersebut?
Kemungkinan, iya. Hukuman mati jadi salah satu opsi. Dan lagi-lagi, pasti disesuaikan dengan besarnya kesalahan masing-masing tersangka (calon terdakwa dan terpidana).
Tidak bermaksud mendahului jaksa dan hakim, apalagi dianggap semacam intervensi. Tulisan ini dimaksudkan agar jadi pertimbangan bagi mereka sehingga makin yakin bersikap dan bertindak.
Semua terserah jaksa dan hakim. Tidak boleh ada yang intervensi. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa wujud reaksi keras publik pada kasus dugaan korupsi bansos ini yaitu kemarahan dan kekecewaan.
Dana bansos bukannya disalurkan secepat dan setepat mungkin, malah dikorupsi. Uang yang "diakal-akali" itu bukan uang biasa. Milik ratusan juta penduduk Indonesia yang tengah melarat gara-gara terkekang wabah.
Opsi hukuman mati pantas dipertimbangkan untuk diputuskan oleh jaksa dan majelis hakim. Hemat penulis, beberapa alasan berikut cukup masuk akal, antara lain:
Pertama, sedikit mengulang, bahwa uang yang dikorupsi adalah dana bansos yang sungguh diperlukan oleh negara dalam menangani dampak buruk Covid-19 yang sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi selain keuangan negara, hak-hak mendesak rakyat juga dirugikan.
Kedua, sebagian para pelakunya merupakan pejabat Kemensos, di mana seharusnya menjadi garda terdepan dalam mencegah penyalahgunaan dana (dan barang) bansos.
Ketiga, patut diduga bahwa korupsi dilakukan secara terencana dan sistematis. Dalam hasil gelar perkara di KPK, ternyata tersangka bernama Matheus Joko Santoso bukan sebatas pejabat di Kemensos, melainkan juga pemilik PT Rajawali Parama Indonesia (PT RPI).
PT RPI merupakan perusahaan swasta rekanan atau vendor yang menyuplai paket bansos sembako. Artinya apa? MJS jelas memanfaatkan jabatannya di Kemensos untuk memperkaya diri, perusahaannya, dan Menteri Sosial. Dan fatalnya, direstui (lebih cocok: diinginkan) oleh Juliari.
Keempat, demi efek jera dan kewibawaan hukum, opsi hukuman mati bagi koruptor layak diterapkan. Tidakkah hukuman mati bukan hal baru di Indonesia? Bukankah sudah terakomidir di dalam UU?
Wajib disadari, ketika Mahkamah Konsistusi (MK) menolak gugatan penolakan hukuman mati dalam kasus narkoba dan terorisme, berarti hal serupa berlaku juga dalam kasus korupsi.
Untuk apa juga Menko Polhukam Mahfud MD pada Kamis, 12 Desember 2019 mengusulkan agar hukuman mati bagi koruptor dimasukkan ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)?
Tujuan Mahfud MD kala itu yakni supaya hukuman mati tidak hanya diberlakukan dalam kasus narkoba, terorisme, dan korupsi, tetapi juga untuk kasus-kasus kejahatan besar lainnya.
Kelima, tidak ada ruang perdebatan HAM di kasus korupsi dana bencana. Jika masih ada, maka seharusnya pencuri, pembunuh, dan pemerkosa tidak perlu masuk penjara karena hak-hak dasarnya terlanggar. Termasuk bandar narkoba dan pelaku terorisme, semestinya tidak boleh dihukum mati.
HAM apa yang mau dijunjung tinggi bagi pelanggar HAM, yaitu pencuri dana bansos bencana? Adakah HAM mereka lebih tinggi dan istimewa ketimbang ratusan juta orang yang sedang terhimpit dampak wabah?
Sila baca kembali penjelasan Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001, di mana terdapat 4 (empat) kategori koruptor yang pantas dihukum mati, yakni korupsi di saat negara dalam bahaya, mengorupsi dana bencana alam nasional, tindakan korupsi berulang, dan korupsi saat negara krisis ekonomi dan moneter.
Semoga tidak terbuka ruang perdebatan soal kondisi negara (bahaya, krisis, atau tidak), pernah tidaknya para tersangka melakukan korupsi, dan kategorisasi bencana Covid-19 (dari alam, buatan manusia, atau bagaimana).
Selanjutnya, kalau ujung-ujungnya tetap pertimbangan HAM (yang diterapkan cuma pidana penjara seumur hidup seperti yang dibebankan kepada Akil Mochtar, Adrian Waworuntu, dan Teddy Hernayadi), ada baiknya Ayat 2 pada Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 dicabut saja.
Bagaimana bisa timbul efek jera agar setiap orang takut korupsi, bila ancaman sanksi maksimal hanya tertera di lembaran kertas? Mengapa tidak dicoba meski sekadar untuk menghasilkan efek kejut? Sekian. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H