Tujuan Mahfud MD kala itu yakni supaya hukuman mati tidak hanya diberlakukan dalam kasus narkoba, terorisme, dan korupsi, tetapi juga untuk kasus-kasus kejahatan besar lainnya.
Kelima, tidak ada ruang perdebatan HAM di kasus korupsi dana bencana. Jika masih ada, maka seharusnya pencuri, pembunuh, dan pemerkosa tidak perlu masuk penjara karena hak-hak dasarnya terlanggar. Termasuk bandar narkoba dan pelaku terorisme, semestinya tidak boleh dihukum mati.
HAM apa yang mau dijunjung tinggi bagi pelanggar HAM, yaitu pencuri dana bansos bencana? Adakah HAM mereka lebih tinggi dan istimewa ketimbang ratusan juta orang yang sedang terhimpit dampak wabah?
Sila baca kembali penjelasan Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001, di mana terdapat 4 (empat) kategori koruptor yang pantas dihukum mati, yakni korupsi di saat negara dalam bahaya, mengorupsi dana bencana alam nasional, tindakan korupsi berulang, dan korupsi saat negara krisis ekonomi dan moneter.
Semoga tidak terbuka ruang perdebatan soal kondisi negara (bahaya, krisis, atau tidak), pernah tidaknya para tersangka melakukan korupsi, dan kategorisasi bencana Covid-19 (dari alam, buatan manusia, atau bagaimana).
Selanjutnya, kalau ujung-ujungnya tetap pertimbangan HAM (yang diterapkan cuma pidana penjara seumur hidup seperti yang dibebankan kepada Akil Mochtar, Adrian Waworuntu, dan Teddy Hernayadi), ada baiknya Ayat 2 pada Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 dicabut saja.
Bagaimana bisa timbul efek jera agar setiap orang takut korupsi, bila ancaman sanksi maksimal hanya tertera di lembaran kertas? Mengapa tidak dicoba meski sekadar untuk menghasilkan efek kejut? Sekian. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H