Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kematian Demokrasi dan "Kenangan Manis" Pilkada 2017

23 November 2020   17:23 Diperbarui: 23 November 2020   19:02 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak menguasai banyak teori mengenai pengertian demokrasi dan seperti apa implementasinya di seluruh negara di dunia. Ada banyak defenisinya menurut para ahli, yang berujung pada satu kesimpulan.

Kesimpulannya, demokrasi dimengerti sebagai suatu bentuk atau sistem pemerintahan, di mana semua warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam proses pengambilan kebijakan atau keputusan yang dapat mempengaruhi hidup mereka.

Istilah demokrasi berdasar pada dua suku kata bahasa Yunani, yaitu demos (rakyat) dan kratos atau cratein (kekuatan, kedaulatan, atau kekuasaan). Maka arti singkat demokrasi adalah sistem pemerintahan atau kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kedaulatan di tangan rakyat.

Sistem pemerintahan yang sampai sekarang masih dianut oleh sekian negara di dunia tersebut, termasuk Indonesia, dulu lahir di zaman Yunani kuno (sekitar tahun 508-507 SM) dan diprakarsai oleh Cleisthenes (warga Athena).

Lebih lanjut tentang sejarah perkembangan demokrasi dan bagaimana para ahli mendefenisikannya (umpamanya teori Abraham Lincoln, Carlos Costello, John L. Esposito, Hans Kelsen, Samuel Huntington, dan seterusnya), sila pembaca cari di berbagai sumber.

Kembali pada topik tulisan, yakni seperti apa gejala-gejala kematian demokrasi di zaman sekarang dan apa saja contoh konkret, aktual, dan terbaru tentangnya.

Sejak Jumat (22/11) lalu, media dan publik ramai membahas kembali keberadaan demokrasi. Hal itu berawal dari pernyataan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang mengaitkan fenomena atau polemik Rizieq Shihab (pimpinan FPI) sebagai bentuk kematian demokrasi di Indonesia.

Selain masalah pencopotan baliho Rizieq dan indikasi kekosongan pemimpin nasional yang mampu menyerap aspirasi masyarakat, entah apa lagi dasar bagi JK mengatakan demikian. Yang jelas, ungkapan JK "dipertegas" Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Minggu (22/11).

"Penegasan" Anies yang dimaksud memang belum bisa disebut jelas, sebab seolah membiarkan publik menerka. Di akun media sosial miliknya (Twitter, Instagram, dan Facebook), ia mengunggah gambar dirinya tengah membaca buku "How Democracies Die" ditambah sepenggal kalimat sapaan "Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi".

Baca: Unggah Buku "How Democracies Die", What's Going On, Pak Anies?

Apakah unggahan Anies mau mengajak publik menanggapi ucapan JK atau bagaimana, pastinya sudah menyita perhatian hingga kini. Publik (termasuk saya) jadi bertanya-tanya, apakah betul demokrasi di Indonesia sudah mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun