Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kematian Demokrasi dan "Kenangan Manis" Pilkada 2017

23 November 2020   17:23 Diperbarui: 23 November 2020   19:02 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sila publik menerka, mencari, dan menyimpulkan apa saja gejala-gejala yang dapat dikategorikan sebagai bukti matinya demokrasi. Namun satu hal penting yang patut dipahami bahwa, isi buku yang dibaca (dipamerkan) Anies tidak membahas tentang eksistensi demokrasi di Indonesia.

Buku karangan dua profesor Universitas Harvard (Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt) tersebut lebih banyak membahas kondisi demokrasi di Amerika Serikat dan sebagian di negara lain (Argentina, Brasil, Republik Dominika, Ghana, Guatemala, Nigeria, Pakistan, dan seterusnya).

Di sini tidak perlu diulas ringkasan buku. Kalau pembaca minat, sila cari bukunya di toko-toko buku, karena versi bahasa Indonesia juga sudah ada. Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2019 berjudul "Bagaimana Demokrasi Mati" dengan ketebalan 288 halaman.

Tulisan ini sengaja saya beri judul "Kenangan Manis" Pilkada 2017, Satu Bukti Matinya Demokrasi. Mengapa? Karena saya tertarik membahas apa contoh konkret dan gejala terdekat (yang menjadi bukti) matinya demokrasi, khususnya di DKI Jakarta.

Maksudnya ialah, JK, Anies, dan siapa pun, sebenarnya tidak perlu mencari terlalu lama dan jauh bagaimana memahami yang namanya kematian demokrasi itu. Gejala dan buktinya ada di sekitar kita. Pernah dialami.

Apa contohnya? Berdasarkan pengalaman saya, proses dan pelaksanaan Pilkada 2017 DKI Jakarta yang sebaiknya dipilih. Nyata dan gampang dipahami. Saya berani memilih ini karena saya berstatus penduduk ibu kota, yang ikut memberi suara pada Pilkada kala itu.

Mohon maaf, saya mesti mengatakan bahwa, Pilkada 2017 DKI Jakarta tidak sehat, jauh dari nilai-nilai demokrasi, dan tidak layak dijadikan referensi untuk pesta demokrasi di masa mendatang. Semuanya diwarnai aksi demonstrasi.

Adakah yang masih ingat ketika Pilkada 2017 DKI Jakarta, politik identitas menjamur dan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu dalam memenangkan calon unggulannya? Ingatkah kejadian pemasangan alat peraga kampanye yang memojokkan SARA?

Ingat pulakah bagaimana kelompok tertentu menyuarakan penolakan keras mensholatkan jenazah pendukung "penista agama"? Ingat pulakah ketika seorang ibu dan anaknya dicaci maki di sekitar Bundaran Hotel Indonesia karena berbeda pilihan?

Mengenai terpasangnya spanduk "tolak sholatkan jenazah pendukung penista agama", jangan ragukan saya. Di lokasi saya tinggal, ada banyak spanduk seperti itu. Saya tidak perlu menyebutkan alamat jelasnya. Hampir tiap hari waktu itu, saya risih mendengar ancaman terhadap kaum minoritas. Dan saya termasuk kelompok minoritas di sana.

Mengapa kita terlalu jauh "meramal" untuk menemukan gejala dan bukti kematian demokrasi? Bukankah ada di sekitar kita, dulu dan sekarang? Seperti apa kematian demokrasi yang dimaksud Anies? Lupakah dia "kenangan manis" tiga tahun silam?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun