Gejala kematian demokrasi jangan dipersempit pada hal penyampaian pendapat. Wujud demokrasi terlalu besar diarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu, dan terlalu luas untuk dimaknai.
Sesuai pengertiannya, demokrasi menjamin kebebasan setiap individu dalam menggunakan hak-haknya. Dan agar jaminan itu terwujud, maka setiap orang diberi batasan, tidak boleh memaksakkan kehendak. Tidak boleh mengintimidasi, merusak tatanan, dan melanggar aturan yang berlaku.
Politik identitas, politisasi SARA, intoleran, mau menang sendiri, pemaksaan kehendak, sok berkuasa, menghujat, memaki, mengucilkan, dan masih banyak lagi. Bukankah fenomena ini yang wajib dikikis supaya tidak mematikan demokrasi?
Maka hemat saya, agak membingungkan ketika penegakan aturan dijadikan sebagai gejala pembunuhan demokrasi. Bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia belum maksimal, itu benar.
Tanpa kepatuhan pada rambu-rambu yang mengikat, mustahil demokrasi berjalan dengan baik. Siapakah yang mesti patuh itu? Ya, semua. Baik pembuat dan pemilik kebijakan maupun masyarakat luas.
Mari kita tegakkan demokrasi dengan cara mematuhi aturan serta menghargai hak dan kewajiban orang lain. Jangan gunakan hukum rimba. Perihal belum maksimalnya penyerapan aspirasi masyarakat, biarlah menjadi beban pemerintah dan wakil rakyat. Desak mereka. Tetapi jangan juga seenaknya sendiri.
Ada banyak cara menghidupkan demokrasi. Mari kita coba satu per satu, mana yang lebih efektif. Tidak melulu demonstrasi, apalagi jika akhirnya malah melanggar aturan yang disepakati dan mengurangi hak orang lain.
Sekian. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H