Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

PSBB Transisi DKI Jakarta: Makin Panjang, Makin Loyo

14 November 2020   22:00 Diperbarui: 14 November 2020   22:25 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerumunan massa menyambut Habib Rizieq Shihab, Selasa, (10/11) | detik.com

Baru juga beberapa hari terbit aturan baru soal perpanjangan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi di DKI Jakarta yang dituangkan dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 1100 Tahun 2020, yang berlaku sepanjang 9-22 November 2020, ternyata pelanggaran demi pelanggaran semakin menjadi-jadi.

Seperti diketahui, PSBB Transisi yang ke sekian kalinya ini didasarkan pada Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2020, di mana pada Pasal 7 Ayat 3 dijelaskan bahwa setiap warga DKI Jakarta wajib membatasi aktivitas keluar rumah, hanya untuk kegiatan penting dan mendesak, serta semaksimal mungkin menghindari kerumunan.

Penerapan aturan baru soal PSBB Transisi yang penerapannya berakhir sampai 22 November tersebut hampir tidak ada bedanya dengan aturan-aturan sebelumnya. Kegiatan belajar-mengajar tatap muka belum diperbolehkan, karyawan tetap disarankan bekerja dari rumah, dan sebagainya.

Hal yang sedikit berubah adalah, bioskop boleh beroperasi (maksimal pengunjung 50 persen) dan acara atau resepsi pernikahan bisa dilakukan di dalam gedung (indoor dengan jumlah tamu 25 persen dari kapasitas normal). Namun sekali lagi, protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19 tetap berlaku.

Pandemi Covid-19 belum berakhir, korban terpapar tetap bertambah, dan PSBB masih berjalan. Mengapa Pemprov DKI Jakarta tidak konsisten menegakkan aturan PSBB Transisi? Mengapa tampak malah semakin loyo?

Bukankah kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta justru meningkat sejak terbitnya aturan PSBB Transisi terbaru? Berdasarkan data, terhitung 9-14 November 2020, kasus positif di DKI Jakarta mengalami peningkatan.

Antara lain 9 November (539 kasus), 10 November (746 kasus), 11 November (587 kasus), 12 November (831 kasus), 13 November (1.033 kasus), dan 14 November (1.255 kasus).

Artinya apa? Dengan adanya aturan PSBB Transisi baru, kasus positif di DKI Jakarta menanjak dari ratusan menjadi ribuan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah penerapan aturan tidak maksimal dijalankan di lapangan?

Tidakkah Gubernur Anies Baswedan ingat, bahwa beberapa waktu lalu, dirinya sempat mengeluh karena kekurangan lahan makam akibat meningkatnya kasus kematian? Adakah kenaikan kasus gara-gara kelonggaran berlebihan yang diberikan kepada warga?

Tampaknya Pemprov DKI Jakarta harus lebih tegas lagi menegakkan aturan yang dibuat. Maksudnya begini, sembari menunggu jawaban pasti mengapa satu minggu terakhir kasus positif mengalami kenaikan, Pemprov DKI Jakarta tidak boleh menutup mata bilamana menyaksikan ada kegiatan masyarakat yang menimbulkan kerumunan.

Aturan PSBB Transisi berlaku bagi siapa pun, tanpa terkecuali. Bagaimana mungkin Pemprov DKI Jakarta membiarkan sekian gelaran acara atau kegiatan massa yang melibatkan Habib Rizieq Shihab (HRS) dan para pendukungnya? Apakah aturan mengecualikan mereka?

Mata publik melihat, sepanjang HRS tiba di Indonesia, ada sebanyak 5 (lima) kegiatan massa berskala besar terjadi, yang jelas-jelas bertentangan dengan aturan PSBB Transisi.

Kegiatan itu yakni penyambutan HRS di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, penyambutan HRS di Petamburan, acara Maulid Nabi Muhammad SAW di Tebet, ceramah HRS di Megamendung (Bogor), dan acara pernikahan putri HRS di Petamburan.

Massa yang hadir di 5 (lima) kegiatan itu cukup besar. Bahkan yang terakhir, acara pernikahan putri HRS disebut-sebut mencapai 10 ribu orang lebih. Bolehkah HRS dan kelompoknya melanggar PSBB?

Ini bukan masalah keberpihakan politik. Ini soal keselamatan seluruh warga. Dunia sedang berada di masa krisis, dilanda pandemi Covid-19. Mengapa Pemprov DKI Jakarta tidak tegas melarang HRS dan kelompoknya agar tidak melaksanakan kegiatan yang memicu kerumunan?

Menurut epidemiolog, Dicky Budiman, terselenggaranya berbagai kegiatan yang melibatkan HRS dan kelompoknya disebabkan oleh ketidaktegasan Pemprov DKI Jakarta menjalankan aturan. Tidak konsisten, pandang bulu, padahal taruhannya keselamatan masyarakat luas.

"Ketidaktegasan dan ketidakkonsistenan dalam menerapkan intervensi sosial, physical distancing. Jelasnya, tidak tegas dan akan merugikan masyarakat luas. Tidak boleh pandang bulu, tidak boleh juga kendur, karena ini untuk kesehatan masyarakat," kata Dicky, Sabtu (14/11) - detik.com.

Sampai kapan aturan PSBB Transisi di DKI Jakarta diperpanjang dan sampai kapan pula berakhirnya pelanggaran? Cuma Pemprov DKI Jakarta dan publik yang tahu. Semoga semua berujung baik.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun