Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

RUU Larangan Minol: Tanpa Tuak, Kami Enggak Bisa "Nugal"

13 November 2020   22:42 Diperbarui: 14 November 2020   03:41 1314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perhatian (sebagian) publik kembali terarah pada salah satu topik pembicaraan level nasional, yakni mengenai pembahasan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Larangan Minol) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

RUU Larangan Minol merupakan satu dari 37 RUU lain yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, hasil evaluasi Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (16/07/2020).

Saya sendiri sudah membaca naskah RUU Larangan Minol yang diusulkan oleh anggota DPR RI yang berasal dari tiga fraksi (PPP 18 orang, PKS 2 orang, dan Partai Gerindra 1 orang), bahwa landasannya mengacu pada tiga pertimbangan, antara lain:

  1. demi menjaga hak setiap warga atas lingkungan kehidupan yang baik dan sehat, sejahtera lahir dan batin;
  2. untuk menghindari dampak negatif minuman beralkohol, sehingga kualitas kesehatan, ketertiban, ketentraman, dan keamanan masyarakat terjaga; dan
  3. dalam rangka menyelaraskan aturan minuman beralkohol yang tersebar di berbagai Peraturan Perundang-undangan supaya terpadu dan komprehensif.

Ada pun klasifikasi Minol yang dilarang untuk dikonsumsi itu adalah golongan A (kadar etanol lebih dari 1-5 persen), golongan B (kadar etanol lebih dari 5-20 persen), golongan C (kadar etanol lebih dari 20-55 persen), dan tanpa golongan (produk tradisional dan campuran atau racikan).

Tidak hanya larangan mengonsumsi, tetapi juga memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/ atau dan menjual. Namun demikian, sederet larangan ini boleh "dilanggar" untuk kepentingan terbatas, yaitu adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.

Setiap pelanggar di luar kepentingan terbatas, akan ditindak pidana (masuk penjara) atau membayar denda. Orang yang memproduksi Minol dipenjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun, atau membayar denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Kemudian, orang yang mengonsumsi minol dipenjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 tahun, atau membayar denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp 50 juta.

Sementara orang yang memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/ atau menjual Minol, berat sanksinya sama dengan orang yang memproduksi, yaitu dipenjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun, atau membayar denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Untuk mengetahui lebih lengkap dan jelas perihal drafnya, baca "RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol" (sila klik), yang terpublikasi di laman website resmi DPR RI.

Entah kapan akan disahkan jadi UU dan apakah betul akan dikoreksi, tetapi saya punya beberapa pertanyaan, yang mudah-mudahan dibaca serta dipertimbangkan oleh anggota DPR RI dan pemerintah.

Pertama: Seberapa berat hukuman bagi seseorang yang terbukti "memborong" sebagian atau semua bentuk pelanggaran (memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, menjual, dan sekaligus mengonsumsi Minol)? Berapa lama dipenjara dan besaran denda yang dikenakan?

Kedua: Bagaimana jika pembuat Minol adalah perusahaan, apakah yang dijerat cukup pemilik, atau bisa semua orang yang terlibat di dalamnya? Bagaimana 'nasib' perusahaannya, apakah ditutup?

Ketiga: Sudahkah RUU Larangan Minol dibuat berdasarkan kajian mendalam dengan mempertimbangkan aspek untung-rugi di masyarakat? Bilamana lebih merugikan, maka sebaiknya tidak diteruskan pembahasannya.

Keempat: Apakah benar cuma kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, dan farmasi yang disebut "terbatas" itu? Bagaimana dengan kebiasaan warga lokal, semisal di NTT, Kalimantan, dan sebagainya? Maksudnya, mengapa digeneralisir padahal di wilayah tertentu ada yang namanya "tradisi"?

Adat berbeda dengan tradisi. Kepentingan adat misalnya untuk acara pertunangan, pernikahan, kematian, peletakan batu pertama pembangunan rumah, pembaptisan, dan lain-lain. Sedangkan kebutuhan tradisi jauh lebih banyak, dan mungkin sulit dihentikan.

Contoh saja, RUU Larangan Minol sudah diprotes oleh Pemprov NTT, sebab dinilai akan menghapus budaya yang sudah berlangsung di sana. "Sehingga kalau mereka mau membuat RUU itu berarti mereka mau menghapus budaya NTT," ungkap Marius Ardu Jelamu, Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT, Jumat (13/11) - KOMPAS.com.

Menambahkan protes Pemprov NTT, saya mendahului suara warga Suku Dayak, khususnya di Kalimantan Barat, bahwa saya menolak keberadaan RUU Larangan Minol. DPR RI sepertinya tidak paham tradisi unik yang ada di Indonesia.

Petani Dayak Jangkang sedang
Petani Dayak Jangkang sedang
Kami di Kalimantan Barat, meminum tuak tidak hanya saat acara pertunangan, pernikahan, kematian, dan seterusnya, tetapi sudah menjadi kebiasaan kami sehari-hari. Kami minum tuak dan arak bukan untuk mabuk-mabukan.

Selain di acara adat, kami butuh tuak untuk disuguhkan kepada tamu, diperlukan di kegiatan gawai (saat membuka lahan dan musim panen) dan nugal (musim tanam, di ladang atau sawah).

Sama seperti di daerah lain yang menyediakan suguhan khas sebagai bentuk penghormatan bagi tamu yang datang ke rumah (entah sirih), kami di Jangkang wajib punya tuak untuk disajikan, terlepas tamunya suka atau tidak. Tamu bukan hanya orang asing, tetapi juga tetangga dan kerabat dekat.

Lalu, berprofesi mayoritas petani, ditambah sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, kami kalau ke ladang (nugal) atau sawah mesti membawa sekian liter tuak atau arak. Buat apa? Ya, buat menambah energi dan menghangatkan badan kami di saat hujan. Biar kuat mencangkul dan tahan membungkukkan badan menanam padi.

Tradisi lama kami inikah yang bakal dipaksa terhapus gara-gara kehadiran RUU Larangan Minol? Mengapa aturan yang dibuat bukan untuk mengendalikan (mengontrol) penggunaan Minol tanpa mengabaikan tradisi dan kearifan lokal?

Istrahat sambil makan siang usai
Istrahat sambil makan siang usai
Haruskah para petani di Tanah Dayak masuk penjara dan membayar denda gara-gara mengonsumsi kebutuhan dasarnya sehari-hari? Betulkah misi keberadaan RUU Larangan Minol demi kehidupan masyarakat yang lebih baik? Masyarakat yang mana?

Atau jangan-jangan seperti yang disampaikan oleh Ainul Yaqin (Sekretaris Umum MUI Jawa Timur) ini, bahwa aturan baru dibuat untuk kepentingan oligarki, jelasnya perusahaan besar?

"Kalau RUU itu tujuannya melindungi konsumen, atau melindungi masyarakat dari dampak miras, itu yang benar. Tapi kalau tujuannya meng-ilegalkan rumah produksi miras yang kecil, ya sama aja kayak sebelumnya. Sekarang ending-nya, yang ilegal dilarang di masyarakat. Akhirnya yang untung tetap perusahaan miras besar, karena tidak bersaing dengan yang ilegal. Yang ilegal biasanya perusahaan kecil," ujar Ainul, Jumat (13/11) - detik.com.

Sekali lagi - sekaligus meluruskan juga - saya dan mungkin sebagian besar warga Dayak menolak RUU Larangan Minol. Di aturan itu terdapat unsur diskriminasi. DPR RI tidak peka terhadap kebiasaan khas masyarakat.

Jangan sampai terealisasi apa yang dikatakan Ainul, bahwa tujuan adanya larangan Minol (menyasar produk lokal) sebenarnya untuk mematikan pesaing perusahaan besar (yang sudah pasti dilabel "legal").

Mengapa wisatawan disebut pemilik "kepentingan terbatas" sedangkan petani Dayak atau suku lain tidak termasuk? Semakin jelaskah yang disampaikan Ainul, bahwa memang para wisatawan lebih suka "minuman legal" ketimbang tuak (ilegal), meski keduanya sama-sama tergolong Minol?

Mudah-mudahan DPR RI dan pemerintah bijak dan mau mendengar masukan dari masyarakat. Adil ka' talino, bacuramin ka' saruga, basengat ka' jubata! ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun