Publik tahu, sebagian kasus hukum tengah membelit HRS. Sila pembaca menelusurinya lebih lanjut. Dan agaknya, HRS menyisipkan pesan terselubung, "jangan lagi ungkit-ungkit masalah saya".
Bagaimana mungkin HRS bisa mendikte penegak hukum lewat tangan pemerintah? Apakah maksudnya pemerintah mau dibawa ke bawah kendalinya? Aneh. Pemerintah punya wibawa, dan pasti menolak didikte pihak manapun, termasuk HRS.
Andai pemerintah mengabulkan permintaan HRS sesuai syarat-syarat, bayangkan, betapa jatuhnya wibawa negara. Bilamana benar ada konflik khusus antara HRS dan Presiden Jokowi misalnya, hal itu urusan pribadi. Negara dan pemerintah tidak boleh tunduk pada HRS.
Kasus hukum HRS dan koleganya tetap saja diproses, memegang prinsip keadilan dan kedudukan yang sama setiap warga di hadapan hukum. Tidak ada warga yang diberi keistimewaan, apalagi seakan kebal hukum.
Pemerintah tidak boleh takut, HRS cuma menggertak. Biarkan penegak hukum melanjutkan pekerjaannya yang sempat terkendala. Negara ini terlalu besar untuk digertak atau ditakut-takuti.
Demikian tanggapan atas rekonsiliasi HRS. Selanjutnya kembali ke politik. Terlepas jadi tidaknya HRS gabung partai politik, tidakkah sebaiknya kehadiran HRS di tanah air dimanfaatkan untuk persiapan Pilpres 2024, katakanlah semacam pemanasan?
Ketimbang HRS dan rekan-rekan mengusik pemerintah atau energi digunakan untuk hal-hal yang tidak perlu, mending mereka mempersiapkan "warming up" Pilpres 2024. Itu lebih baik.
Kian tertulis di atas, yang bertemu HRS di rumah bukan tokoh biasa, tetapi para petinggi partai politik. Maka sebaiknya momen kehadiran HRS dimanfaatkan sebaik mungkin dalam menyongsong suksesi kepemimpinan nasional di masa mendatang. Entah apa cara dan wujudnya, yang penting tidak mengganggu roda pemerintahan atau merugikan rakyat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H