Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kalah di Pilpres, Trump Tidak Perlu Pindah Negara, Ini Alasannya

9 November 2020   20:25 Diperbarui: 11 November 2020   11:42 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Amerika Serikat sekaligus calon presiden petahana di Pilpres 2020, Donald Trump | Nicholas Kamm/ AFP via tribunnews.com

Sebagian besar proses Pilpres 2020 Amerika Serikat telah selesai. Pemungutan dan penghitungan suara sudah dilakukan, dan perolehan suara elektoral (electoral college) bagi masing-masing pasangan calon mengemuka. The Associated Press mencatat, untuk sementara Biden-Harris unggul dengan 290 suara elektoral, sementara Trump-Pence mendapat 214 suara elektoral.

Masih ada tahap berikutnya sebelum presiden dan wakil presiden terpilih dilantik pada 20 Januari 2020. Tahap tersebut adalah sidang anggota dewan elektoral pada 14 Desember 2020, yaitu mereka akan memberi suara untuk memilih presiden. Artinya, benar yang dikatakan Trump bahwa Pilpres belum selesai.

Perolehan suara elektoral yang ditampilkan di media semisal AFP, belumlah data final, melainkan prediksi yang mendekati akurat. Maka tidak salah pula ketika banyak pemimpin negara menyampaikan ucapan selamat kepada Biden-Harris. 

Banyak hal menarik selama Pilpres 2020 AS ini. Saking menariknya, sebagian pihak mengatakan, perhelatan pesta demokrasi yang menyita perhatian dunia itu "kacau, lucu, dan menegangkan". Betapa tidak, para paslon dan pendukung mereka saling berlomba mengumumkan klaim kemenangan.

Biden-Harris yang memang 'pantas' mengaku menang, bersuara. Dan Trump-Pence yang terbukti terpantau kalah tidak mau ketinggalan. Bahkan Trump sendiri sampai menuding ada kecurangan.

Trump, capres yang paling disorot media. Di samping soal klaim dan tudingan, ia juga dikenal suka 'mencuit' hal-hal yang menimbulkan kontroversial, sehingga pihak Twitter pun bingung dan kewalahan bersikap.

Melansir KOMPAS.com, Minggu, 18 Oktober 2020 (sila klik), Trump juga dengan gagah menyebut Biden sebagai "kandidat terburuk" dalam sejarah perpolitikan AS. Ia yakin tidak mungkin kalah, meski melawan Biden pula membuatnya tertekan.

"Melawan kandidat terburuk dalam sejarah politik Amerika membuat saya tertekan. Bisakah Anda bayangkan jika saya kalah? Sepanjang hidup saya, apa yang akan saya lakukan? Saya akan mengatakan, saya kalah dari kandidat terburuk dalam sejarah politik. Saya tidak merasa begitu baik. Mungkin saya harus meninggalkan negara ini, saya masih belum tahu," ujar Trump di Georgia, Jumat (16/10/2020).

Menyebut Biden di Georgia sebagai "kandidat terburuk", lalu kemudian faktanya Biden yang memenangkan hati warga di wilayah itu. Sebanyak 16 suara elektoral berhasil direbut. Apakah warga memang tahu bila Biden tidak seburuk yang dikatakan Trump? Entah. Cuma Tuhan, Trump, dan warga Georgia yang berhak menjawab.

Lalu mengenai pernyataan "saya harus meninggalkan negara ini", sadarkah Trump sekarang kalau akhirnya hasil Pilpres membuatnya semakin tertekan? Ya, warga AS akan menagih janjinya, atau setidaknya mereka bakal melabelinya "The Loser", sebagaimana ia kerap menyematkan kata itu kepada orang-orang yang tidak ia senangi.

Menurut penulis, dan ini sekaligus saran, Trump sebaiknya berbesar hati menerima kenyataan, yakni kalah melawan Biden. Semakin ia menggencarkan klaim dan bahkan membentengi diri, maka selama itu juga citra dirinya memburuk. Begini saran penulis kepada Trump:

Pertama, di samping menerima kenyataan, berhentilah 'menyerang' Biden-Harris ataupun mengungkap pernyataan yang tidak berdasarkan fakta. Teruslah bermain golf jika memang sedang stres dan tertekan. Kesehatan jauh lebih penting ketimbang memikirkan kekalahan.

Kedua, tidak perlu mengingat-ngingat cuitan lama. Yang lalu, biarlah berlalu. Biarkan saja terdokumentasi di Twitter. Mudah-mudahan bisa menjadi kenangan manis, sesuatu yang mesti dianggap sebagai penghibur diri.

Ketiga, janji "meninggalkan Amerika" jangan direalisasikan. Apa kata warga AS, terutama para pendukung di Pilpres? Bukankah mereka akan merasa kehilangan? Warga AS juga pasti sangat kecewa, karena seorang mantan presiden malah meninggalkan tanah kelahirannya.

Berbesar hati menerima kekalahan, menenangkan hati para pendukung, dan selanjutnya kembali berkarya dengan cara sendiri untuk mempertahankan "keagungan" AS, merupakan sikap yang paling tepat diambil Trump.

Misi "Make America Great Again"bisa kok diperjuangkan tanpa harus jadi presiden. Biden-Harris tentu sepakat dengan misi tersebut, dan pasti diwujudnyatakan dalam program-program mereka ke depan. Jasa Trump selama 4 (empat) tahun tidak mungkin dilupakan warga AS dan dunia.

Terima kasih, Trump! Proficiat, Biden!

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun