Ternyata bukan cuma Djoko Tjandra yang layak disebut "sakti" karena pernah mendapat keistimewaan luar biasa dari pihak kepolisian meski sedang berstatus terpidana buron atas kasus hak tagih (Cessie) Bank Bali.
Seperti diketahui publik, beberapa waktu lalu Djoko Tjandra bisa dengan bebas keluar-masuk Indonesia berbekal "surat sakti", surat perjalanan dinas khusus pegawai di kepolisian. Sebelumnya juga diberi status bebas dari pencarian lewat penghapusan red notice.
Bukan cuma Djoko Tjandra, masih ada orang lain lagi yang pantas disematkan tanda "sakti", yaitu 2 (dua) perwira tinggi kepolisian berpangkat jenderal, yang berjasa "menganugerahkan" surat perjalanan dinas dan penghapusan red notice terhadap dirinya.
Mereka adalah Irjen (Pol) Napoleon Bonaparte dan Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo. Gara-gara memberikan 2 (dua) macam fasilitas tadi kepada Djoko Tjandra, mereka kemudian dijerat hukum dan kini sedang berstatus tersangka.
Keduanya disangkakan Pasal 5 Ayat 2, Pasal 11, dan Pasal 12 huruf a dan b UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 KUHP.
Mengapa Napoleon dan Prasetijo harus disebut "sakti"? Sebab, setelah belakangan tidak pernah diborgol oleh petugas walaupun berstatus tersangka, hal luar biasa lagi yang mereka terima yakni diberi kesempatan makan bersama dengan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan, Anang Supriatna.
Jamuan makan siang bersama itu terjadi pada Jumat, 16 Oktober 2020, seusai penyidik Bareskrim Polri melimpahkan berkas perkara Napoleon dan Prasetijo ke Kejari Jakarta Selatan untuk segera disidangkan.
Kejadian tersebut viral di media sosial, setelah kuasa hukum (pengacara) Napoleon bernama Petrus Bala Pattyona mengunggah foto "jamuan makan siang" di akun Facebook miliknya.
Karena viral, kemudian pihak KOMPAS.com inisiatif meminta konfirmasi dari Petrus. Dan terbukti, peristiwa itu benar adanya.
Petrus mengatakan bahwa jamuan makan siang antara Kepala Kejari Jakarta Selatan bersama kedua tersangka (Napoleon dan Prasetijo) merupakan hal wajar dan biasa. Makanan yang disantap pun dibeli di kantin, bukan disiapkan pihak Kejari.
"Memang kejadian seperti itu. Hanya makan siang, karena memang jam makan dan (makanan) belinya di kantin. Soal makan itu semua, termasuk minum teh, kopi, dan hal lain, biasa seperti saat mendampingi di kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Tidak mungkin tersangka diizinkan cari makan sendiri," ujar Petrus kepada KOMPAS.com, Senin (19/10/2020).
Hal wajar, biasa, dan tidak mungkin dibiarkan tersangka mencari makanan sendiri. Demikian rangkuman pernyataan Petrus. Pertanyaannya, memang benarkah sering terjadi hal serupa di berbagai lembaga penegak hukum seperti pengakuan Petrus?
Penulis agak kurang yakin dan bahkan tidak percaya. Bagaimana mungkin seseorang yang tersangkut kasus hukum bisa leluasa tanpa beban dan sekat berinteraksi dengan pihak yang nyata memproses kasusnya?
Menurut penulis, seharusnya tidak boleh terjadi. Karena mestinya Kejari Jakarta Selatan menjaga jarak terhadap Napoleon dan Prasetijo. Berkas kasus dilimpahkan untuk disidangkan, lalu mengapa tersangka boleh bertemu petinggi kejaksaan?
Bukankah akan ada potensi konspirasi tertentu di baliknya? Mengapa pula kedua tersangka dibiarkan bangga mengenakan seragam kepolisian, di mana wajibnya memakai baju tahanan?
Mengenai ini semua, biarlah publik, Kejari Jakarta Selatan, Jaksa Agung, Kapolri, dan bahkan Presiden Joko Widodo yang berkenan memberi penilaian. Sekali lagi, hemat penulis, sejatinya jamuan makan siang sambil ngobrol itu tidak boleh terjadi.
Saran penulis, itu pun jika dipertimbangkan dan dikabulkan, sebaiknya pihak Kejari Jakarta Selatan (atau Kejari lainnya) mau memberi keistimewaan yang sama kepada Djoko Tjandra, makan siang bersama. Dan bila memungkinkan, Jaksa Pinangki juga turut diundang.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H