Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada 2020 dan "Iklan Mie Instan"

12 Oktober 2020   11:16 Diperbarui: 12 Oktober 2020   11:18 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena tidak ada tanda-tanda ditunda meskipun dihantui wabah Covid-19, ancaman peningkatan golongan putih (golput), dan potensi delegitimasi hasil, berarti Pilkada Serentak 2020 kemungkinan besar diselenggarakan sesuai jadwal yang sudah ditentukan.

Seperti diketahui, Pilkada Serentak 2020 yang dijadwalkan pada 9 Desember ini melibatkan sebanyak 270 daerah di Indonesia. Antara lain, 9 provinsi, 37 kotamadya, dan 224 kabupaten.

Baca: Tiga "Hantu" Pilkada 2020: Covid-19, Ancaman Golput, dan Delegitimasi Hasil

Entah bagaimana cara para pasangan calon (Paslon) melawat rakyat untuk berinteraksi sambil "jual diri", penyelenggara (dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum atau KPU) menganjurkan agar kampanye dijalankan memanfaatkan media sosial (medsos) atau secara daring.

Sebenarnya bukan cuma di Pilkada Serentak 2020, namun di semua perhelatan pesta demokrasi lainnya, hal penting yang patut diperhatikan masyarakat khususnya pemegang hak pilih adalah model dan bobot kampanye.

Sudah menjadi pemahaman bersama, bahwa terkadang para Paslon pelayan publik, ketika terpilih cenderung ingkar janji. Memang tidak rata seperti itu, tetapi ada sebagian yang terbukti melakukan demikian.

Mengapa bisa terjadi? Tentu banyak faktor penyebab. Rangkum saja misalnya, karena lemahnya kompetensi Paslon serta kurangnya pengetahuan politik masyarakat.

Para Paslon selihai mungkin menarik hati dengan jargon dan janji manis, sementara masyarakat belum mampu memilah dan mempertimbangkan mana yang layak "ditelan". Pemilih asal percaya dan mau terbuai.

Pihak yang perlu "diselamatkan" di sini yaitu para pemilih, sebab ke depan merekalah yang akan merasakan "pahit-manis" buah pilihannya.

Maka dari itu, menurut penulis, para pemilih sudah seharusnya meningkatkan kemampuan memilih agar tidak terjebak pada janji-janji kosong.

Maksudnya, para pemilih harus bisa membedakan mana kampanye dan mana pula "iklan mie instan". Ada yang suka makan mie instan? Makanan ini sangat digemari karena di samping instan dibuat, juga rasanya nikmat.

Lalu apa hubungan antara Pilkada Serentak 2020 dan "iklan mie instan"? Mestinya sedikit terbaca. Adakah yang pernah berpikir, mengapa mie instan yang diiklankan tidak sesuai wujud yang diterima konsumen?

Mengapa di iklan ada ayam, udang, rendang, tomat, dan bumbu-bumbu lain yang lengkap, sedangkan ketika dibeli di warung dan mulai diseduh atau dimasak ternyata tidak ada?

Jangan berubah pikiran dan kemudian tidak lagi mengonsumsi mie instan, walaupun ternyata bahan-bahan yang ada di iklan tidak tersedia di tangan. Bau dan rasanya saja yang "diizinkan" dinikmati.

Apakah para pemilih di Pilkada Serentak 2020 cuma mau "mengecap rasa" dan "mencium bau" di kemudian hari? Kalau tidak mau, maka berhentilah mempercayai kampanye a la "iklan mie instan".

Caranya, jangan gampang tergiur janji manis, kenali kompetensi dan rekam jejak para Paslon, dan ikat komitmen dengan mereka. Pandemi Covid-19 tidak boleh dijadikan alasan untuk memberikan kesempatan kepada para Paslon berkampanye model "iklan mie instan".

Jangan sampai yang kelak didapat masyarakat sebatas "rasa dan bau pembangunan", padahal wujudnya tidak nyata. Sekian.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun