Setiap orang saat ini tentu sedang gelisah karena belum menurunnya angka penularan pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung selama kurang lebih 7 (tujuh) bulan. Bukannya turun, kian hari data kasus positif malah semakin menjadi-jadi. Jumlah per hari belakangan ini konsisten pada angka 3 ribuan hingga 4 ribuan.
Entah sampai kapan pandemi mau berhenti supaya masyarakat bisa leluasa lagi melakukan berbagai aktivitasnya. Tampaknya puncak penularan masih dalam bayang-bayang, apalagi penurunan perolehan kasus positif, sedang terus dinantikan. Mesti dipahami, meningkatnya jumlah kasus positif dan bertambahnya korban meninggal dunia akibat kelalaian masyarakat dalam menaati protokol kesehatan.
Di samping ketidaktaatan protokol kesehatan, hal lain yang menjadi penyebab belum tercapainya harapan terbebas dari kekangan pandemi yaitu kurang maksimalnya upaya pemerintah untuk mencegah penularan. Sebagian pihak menilai pemerintah hanya sibuk menggelontorkan sekian jenis bantuan, ketimbang fokus "menghajar" pandemi.
Agar pandemi terhalau, inti persoalan yang wajib diselesaikan  cuma 2 (dua), ketataatan protokol kesehatan dan upaya serius pemerintah. Kedua-duanya harus berjalan beriringan dalam waktu yang bersamaan. Percuma pemerintah melakukan berbagai strategi jika masyarakat tetap ogah, tidak mau bekerjasama.
Mari kita menunjukkan keseriusan masing-masing, daripada mencari-cari kesalahan pihak lain. Misalnya, taatilah protokol kesehatan dan edukasi sesama soal bahaya pandemi. Maksudnya begini, jangan sampai kita cenderung "menghakimi" orang lain sebagai pihak yang salah, sementara diri kita merasa lebih hebat dan benar.
Saya termasuk orang yang amat gelisah gara-gara pandemi. Saya tidak bisa beraktivitas normal karena "terpaksa" menjauhi larangan macam-macam demi menaati protokol kesehatan. Kegelisahan saya mirip dengan yang dialami Najwa Shihab, jurnalis dan presenter kondang tanah air. Najwa gelisah karena ingin mendengar progres penanganan pandemi Covid-19, langsung dari mulut Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Persis dengan harapan Najwa, saya mau Terawan berkenan tampil di publik dan memberi keterangan atas upaya pemerintah memberantas pandemi Covid-19. Maka ketika beberapa hari yang lalu dikabarkan akan ada ada acara talkshow antara Najwa dan Terawan di salah satu stasiun televisi swasta, saya berharap hal itu menjadi kenyataan.
Lewat program acaranya bertajuk "Mata Najwa Menanti Terawan", Najwa mengaku sudah sekian kali mengundang Terawan untuk hadir. Namun yang terjadi, Terawan batal hadir. Padahal, selain melalui surat resmi, di media sosial juga Najwa telah melayangkan undangan terbuka kepada Terawan.
Mengapa Najwa ngotot menghadirkan Terawan? Ya, seperti yang disebutkan di atas, Najwa ingin Terawan meluangkan waktu tampil di stasiun televisi menjawab pertanyaan masyarakat yang diterima Najwa. Sebagian pertanyaan tersebut sudah ditampilkan Najwa pula di media sosialnya.
Lalu mengapa Terawan konsisten menolak hadir? Tentu hanya Terawan yang paling tahu alasannya. Barangkali ia memang sedang sibuk bekerja dan tidak punya waktu bertemu Najwa dan para pemirsa. Belakangan setelah namanya viral di jagat Twitter, Terawan menjelaskan bahwa progres penanganan pandemi Covid-19 akan disampaikan di waktu yang tepat.
Pertanyaan selanjutnya, apa betul Terawan wajib memenuhi undangan Najwa? Menurut saya, tidak. Sebagai pihak yang diundang, Terawan punya hak untuk memutuskan mau hadir atau tidak. Perlu dipahami, kehadiran Terawan di acara Najwa tidak hanya dalam kapasitas pribadi, melainkan juga representasi pemerintah.
Terawan adalah pembantu Presiden Joko Widodo. Ketika menghadiri acara Najwa, ia turut membawa "muka" Presiden Jokowi. Penangungjawab tertinggi penanganan pandemi Covid-19 itu presiden, bukan menteri. Bahkan Terawan sesungguhnya wajib meminta izin Presiden Jokowi, manakala mau hadir.
Saya tidak sepakat dengan cara Najwa mengundang Terawan. Menurut saya kurang beretika. Bagaimana mungkin seorang pejabat negara dipaksa hadir, dengan cara-cara yang tidak baik? Tajuk acara Najwa pun terbaca agak "sarkas": Mata Najwa Menanti Terawan. Hasilnya, Terawan ternyata terbukti tidak hadir, dan saya setuju dengan sikapnya.
Najwa bukan polisi, jaksa, hakim, atau apapun namanya yang diberi tugas untuk "menginterogasi" atau "menghakimi" Terawan. Najwa semestinya bisa bersikap bijak, bahwa yang diundang itu adalah pejabat negara, bukan tersangka, terdakwa, atau terpidana buron. Undangan "sarkas" lewat media sosial saja sejatinya sudah menjatuhkan wibawa Terawan di mata publik. Sebagian warganet akhirnya "mem-bully" Terawan.
Oleh sebab itu, saya setuju dengan apa yang ditulis Addie MS di Twitternya berikut: "Mengundang itu biasanya disertai niat untuk menghormati yang diundang". Apakah Najwa berniat menghadirkan Terawan secara terhormat? Atau demi sensasi supaya program acara di stasiun televisi semakin populer?
Sekali lagi, mari kita atasi kegelisahan dan mengejar segala keinginan tanpa mengesampingkan nilai-nilai etika. Kita harus optimis, badai pandemi Covid-19 pasti berlalu. Semoga kita semakin taat protokol kesehatan dan pemerintah lebih serius lagi menjalankan kebijakannya. Untuk tugas "menghakimi" Terawan, biarlah menjadi kewenangan Presiden Jokowi.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H