Melansir kabar24.bisnis.com (1 Juli 2020), ditemukan fakta bahwa dari total 514 kota dan kabupaten, hanya 20 persen (103 kabupaten dan kota) yang data warga miskinnya aktif diperbaharui. Kalau pun diperbaharui, datanya asal-asalan.
Di antara sekian ratus kabupaten dan kota tersebut juga, berdasarkan catatan Kompas.com (1 Juli 2020), ternyata ada sebanyak 92 kabupaten dan kota yang sama sekali tidak memperbaharui data warga miskinnya selama 5 (lima) tahun lalu, atau sejak 2015.
Maksudnya apa? Pemerintah tidak boleh lagi mengulang kesalahan yang sama. Penerima bantuan bukanlah orang tepat, sesuai syarat. Perlu ada upaya ekstra supaya data-data calon penerima valid, bukan rekayasa.
Penulis tidak tahu seperti apa pemerintah melakukan pendataan karyawan swasta, calon penerima bantuan. Apakah hanya mengambil data yang disajikan BPJS Ketenagakerjaan, atau bagaimana.
Seandainya benar cuma data tunggal dari BPJS Ketenagakerjaan, pemerintah mestinya memverifikasi ulang. Jangan sampai ada data seseorang yang tercantum sebagai karyawan swasta, namun nyatanya sudah terkena PHK, meskipun sampai sekarang masih terdata di BPJS Ketenagakerjaan.
Kedua, pemberian bantuan sesungguhnya bertujuan untuk meringankan beban warga di tengah pandemi Covid-19, yang kebetulan kali ini diarahkan kepada karyawan swasta.
Adakah pemerintah berpikir bahwa jangan-jangan gaji yang diterima di perusahaan bisa saja merupakan bagian dari penghasilan tambahan seorang karyawan? Maksudnya adalah, meskipun bergaji di bawah Rp 5 juta, ternyata karyawan tersebut punya penghasilan lain yang jauh lebih besar.
Cukup adilkah pemberian bantuan hanya dengan melihat data gaji yang tersaji di BPJS Ketenagakerjaan? Calon penerima 13,8 juta orang. Bagaimana dengan mereka yang tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan akibat kelalaian perusahaan?
Bukankah jumlah buruh dan pegawai di Indonesia ada sekitar 52,2 juta orang? Berarti pekerja yang tidak terakomodir padahal mungkin sebagian besar di antaranya amat butuh bantuan sekitar 73,5 persen lagi.Â
Baiklah bahwa pemerintah mengaku mengalami keterbatasan dana. Anggarannya hanya Rp 31,2 triliun. Maka di sinilah pentingnya verifikasi "layak dan tidak layak". Bukan asal melihat data gaji di BPJS Ketenagakerjaan.
Pemerintah semestinya mau 'mengambil hati' karyawan swasta yang punya penghasilan lain di luar gaji dari perusahaan. Bantuan jangan diberikan dulu kepada mereka, tapi dialihkan ke pekerja yang tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan yang sementara sungguh membutuhkan.