Dalam rangka mendorong konsumsi atau daya beli masyarakat di tengah pandemi Covid-19, pemerintah berencana akan menggelontorkan dana bantuan sebesar Rp 31,2 triliun untuk dibagikan kembali kepada warga yang memenuhi syarat.
Ada pun warga yang dinyatakan memenuhi syarat, yakni mereka yang berprofesi sebagai karyawan swasta, memiliki gaji di bawah Rp 5 juta per bulan, dan terbukti aktif terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dengan iuran Rp 150 ribu per bulan.
Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Erick Thohir menyebutkan, bantuan yang diberikan kepada masing-masing karyawan swasta merupakan gaji tambahan. Besaran dana yang akan diterima sebesar Rp 600 ribu per bulan selama 4 (empat) bulan.
Meski dialokasikan per bulan, nantinya dana bantuan bakal langsung ditransfer ke rekening masing-masing karyawan swasta per 2 (dua) bulan atau 2 (dua) tahap. Artinya, total dana bantuan Rp 2,4 juta, dan sekali terima sebesar Rp 1,2 juta.
Diperkirakan ada sekitar 13,8 juta penerima yang memenuhi syarat. Setelah proses final, pihak yang diberi tanggungjawab mendistribusikan bantuan adalah Kementerian Ketenagakerjaan. Rencananya, realisasi distribusi bantuan dapat terlaksana pada September 2020.
Pemberian bantuan gaji tambahan puluhan triliun rupiah kepada karyawan swasta tadi kiranya bisa dianggap sebagai upaya lanjutan pemerintah dalam meringankan beban masyarakat, seusai memberi bantuan sosial melalui Kemensos dan BLT lewat Kemendesa PDTT.
Pertanyaannya, apakah pemerintah sudah mempertimbangkan secara matang syarat-syarat di atas? Adakah terdapat perlakuan diskriminatif di sana? Betulkah akan berdampak signifikan pada peningkatan konsumsi masyarakat?
Menurut penulis, sebelum merealisasikan rencananya, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan hal-hal berikut, sehingga dana bantuan yang diberikan tepat sasaran, tidak diskriminatif, serta tidak dianggap pula oleh sebagian pihak sebagai tindakan buang-buang anggaran.
Pertama, dalam mendata karyawan swasta yang memenuhi syarat, pemerintah wajib belajar dari pengalaman sebelumnya ketika menyalurkan bansos dan BLT.
Saat bansos dan BLT direalisasikan, setelah dievaluasi, ditemukan beragam persoalan. Fakta misalnya, banyak para penerima yang tidak memenuhi syarat karena bukan bukan warga yang betul-betul membutuhkan atau miskin.
Berarti bantuan tidak tepat sasaran. Mengapa terjadi demikian? Sebab, data warga miskin di ratusan kabupaten dan kota tidak diperbaharui. Masih menggunakan data lama.