Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyoal Sikap "Cool" Prabowo dan Edhy atas Pelanggaran China di Laut Natuna

4 Januari 2020   04:11 Diperbarui: 6 Januari 2020   16:47 2175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kanan) dan Menteri KKP Edhy Prabowo (kiri) | Gambar: KOMPAS TV via tribunnews.com

"Begitu saja Pak (Jokowi), kalau ada armada asing masuk ke laut kita, apa yang kita bisa buat? Jadi bukan saya tidak percaya. Saya ini TNI, Pak (Jokowi). Saya pertaruhkan nyawa di TNI. Saya lebih TNI dari banyak TNI."

Untaian kalimat di atas merupakan penggalan pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto saat masih berstatus sebagai calon presiden di Pilpres 2019. Penggalan lain yang mendukung yakni: "Kita juga akan membela rakyat kita, karena membela rakyat adalah kehormatan yang sangat mulia".

Prabowo menyampaikannya saat Debat Capres ke-4 dengan tema "Ideologi, Pemerintahan, Pertahanan dan Keamanan, serta Hubungan Internasional" pada Sabtu, 30 Maret 2019 di Hotel Shangri-La, Jakarta. Pada waktu itu beliau berdebat panas dengan Joko Widodo (Jokowi) demi meraih simpati rakyat Indonesia.

Mengapa saya tertarik mengutip kedua penggalan pernyataan Prabowo tersebut? Sebab saya melihat janji beliau ketika berstatus capres, khususnya di bidang pertahanan dan hubungan internasional, sekarang sedang dipikulnya. Penggalan pertama perihal pertahanan dan penggalan lain tentang hubungan internasional.

Saya amat yakin, selain langkah nyata rekonsiliasi politik pasca Pilpres 2019, penunjukan Prabowo sebagai Menhan juga merupakan upaya Presiden Jokowi dalam memberikan kesempatan kepada Prabowo mewujudkan visi dan misi di bidang pertahanan (dan hubungan internasional) yang dianggap identik. Sila baca kembali dua penggalan pernyataan Prabowo di atas, di mana dulu diucapkan berapi-api.

Kalau mau diuraikan apa saja tugas-tugas Prabowo selaku Menhan, pasti cukup banyak. Intinya, beliau punya rangkuman tugas untuk menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam hal ini menjaga pertahanan agar tidak "dibobol" asing atau negara-negara lain, baik di darat, laut dan udara.

Kapan Prabowo bisa menunjukkan ke publik bahwa dirinya "lebih TNI dari banyak TNI" lewat implementasi program kerja? Ya, sekarang ini. Sudah dua bulan lebih beliau menjabat sebagai Menhan. Dan dalam menjalankan tugas dan program-programnya, beliau mesti bekerjasama dengan berbagai pihak, yang salah satunya adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di bawah komando Edhy Prabowo.

Meskipun usia jabatannya belum seumur jagung, ternyata Prabowo telah disajikan ujian awal yang mestinya diselesaikan secara hati-hati, diperjuangkan sesuai janjinya saat kampanye, dan tidak menimbulkan pertanyaan dari rakyat Indonesia. Ujian itu adalah "berhasilnya" China menerobos perairan Natuna yang notabene milik Indonesia.

Artinya Edhy dan Prabowo punya "soal ujian" yang sama, yang tidak cuma menyangkut masalah perikanan tetapi juga penegakan kedaulatan wilayah negara. Dan yang cukup mengherankan, ketika ditanya bagaimana tanggapannya atas insiden di Laut Natuna, Edhy malah mengaku sedang melakukan "operasi senyap". Sejenis operasi apakah itu? Masih kabur hingga sekarang ini.

Sila baca: Sejak Susi "Lengser", Nelayan Mengeluh Dikejar dan Diusir Kapal Asing

Maka dari itu, saya menganggap insiden masuknya kapal China yang dikawal coast guard untuk mencuri ikan dan bahkan sampai mengusir nelayan Indonesia sebagai ujian bagi Prabowo. Di situlah kesempatannya menunjukkan sikap nasionalismenya selaku mantan prajurit dan rasa keberpihakannya membela kehormatan rakyat (nelayan) yang disebutnya amat mulia.

Bukan berarti "memaksa" Presiden Jokowi mengumumkan perang melawan China, akan tetapi Prabowo minimal berusaha membesarkan hati rakyat Indonesia (khususnya para pemilihnya di Pilpres 2019) walau sebatas kata-kata. Tidak jadi alasan baginya untuk bersikap permisif hanya karena beberapa waktu yang lalu sempat ke negeri Tirai Bambu itu untuk memperkuat hubungan bilateral.

Bagaimana mungkin setelah bertemu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan kemarin, Jumat (3/1/2020), Prabowo menyatakan sikap memilih "cool" alias santai dan meminta insiden di Laut Natuna tidak diributkan, dengan alasan karena China adalah tetangga atau negara sahabat?

"Kita cool (tenang) saja. Kita selesaikan dengan baik ya, bagaimana pun China negara sahabat," kata Prabowo di Kantor Kemenko Kemaritiman.

Prabowo pun belum menjelaskan rinci mengapa harus "cool", di samping alasan tidak ingin merusak hubungan baik antarnegara. Jika mau diungkap, maka penjelasannya seperti jawaban Luhut Pandjaitan berikut, usai bertemu Prabowo.

"Sebenarnya enggak usah dibesar-besarin lah kalau soal kehadiran kapal (Coast Guard China) itu. Sebenarnya kan kita juga kekurangan kemampuan kapal untuk melakukan patroli di ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) kita itu. Sekarang memang Coast Guard kita itu, Bakamla, sedang diproses supaya betul-betul menjadi Coast Guard yang besar sekaligus dengan peralatannya. Ya kalau kita enggak hadir, kan orang hadir. Jadi kita sebenarnya yang paling marah pertama itu pada diri kita sendiri. Kita punya kapal belum cukup," ujar Luhut.

Selanjutnya Luhut mengatakan lagi: "Ya makanya saya bilang jangan ribut. Untuk apa kita ribut yang nggak perlu diributin, bisa ganggu". Arahnya, Luhut (bersama Prabowo dan Edhy) ingin agar kasus bobolnya perairan Natuna tidak dipersoalkan sebab dapat mengganggu investasi China di Indonesia. Mari kita simpulkan kembali alasan-alasannya beserta pertanyaan yang bisa timbul di baliknya.

Pertama, Indonesia belum mampu menjaga (patroli) di ZEE karena coast guard dan berbagai peralatan yang dibutuhkan belum memadai. Pertanyaannya, apakah maksudnya bahwa selama kondisi itu berlangsung (ketidakmampuan), selama itu pula membiarkan kapal asing bebas memasuki perairan Indonesia? Butuh waktu berapa lama agar kita siap patroli dengan peralatan canggih?

Kedua, China merupakan negara tetangga dan sahabat. Apakah maksudnya ketika seorang sahabat "menginjak" kepala kita, lalu sikap yang kita ambil adalah memaklumi dan membiarkannya? Mengapa kita tidak "mendidiknya" supaya tahu batas?

Mengapa pula kita enggan protes tetangga yang dengan sengaja menerobos rumah kita tanpa pamit? Mengapa kita membiarkannya mengambil lauk yang ada di dalam kuali?

Ketiga, China adalah mitra investasi. Bagaimana mungkin kita "menjual" harga diri dan kedaulatan bangsa ini hanya demi uang? Apakah sepanjang China berinvestasi di Indonesia, selama itu pula membiarkan tindakan penyerobotan? Bukankah investasi itu akhirnya justru kita jadikan belenggu bangsa? Apakah kita mau "terjajah" oleh investasi? Muka kita mau ditaruh di mana kalau seperti ini alasan untuk tutup mulut?

Sekian alasan di atas sungguh tidak masuk akal. Saya pribadi berharap ada upaya lain yang lebih tegas, tidak menampar balik muka bangsa kita, serta tetap membesarkan hati negara tetangga. "Duo Prabowo" mestinya sepakat dengan sikap Menkopolhukam Mahfud MD dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang kukuh mengajukan protes terhadap China.

Come on, Pak Prabowo! Bantulah Pak Edhy mempertahankan wibawanya, dan buat juga Presiden Jokowi bangga!

***

Sumber berita: [1] [2] [3] [4] [5]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun