Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Gubernur Jakarta (Berikutnya) Harus Lebih Hebat dan Kuat

3 Januari 2020   11:29 Diperbarui: 3 Januari 2020   11:27 1310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita kurang tahu pasti kapan pemindahan ibu kota negara terealisasi, namun yang jelas, rencana dan persiapannya tengah digodok serius oleh pemerintah pusat. Beberapa waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo menggelar sayembara desain ibu kota dan sudah mengumumkan 3 (tiga) hasil desain terbaik. Ketiganya pun akan kembali dipadu dan disempurnakan, melibatkan para desainer kelas dunia, sehingga desain yang dihasilkan siap diterapkan.

Menurut keterangan presiden, pemindahan ibu kota di Kalimantan Timur dimulai dengan membangun gedung pemerintah pusat, antara lain istana kepresidenan, kantor-kantor kementerian, fasilitas pelayanan publik, dan sebagainya. Semoga sesuai rencana, operasional pemerintah sudah bisa dikendalikan di ibu kota baru dalam 5 (lima) tahun ke depan ini.

Mendengar apa yang pernah disampaikan presiden bahwa salah satu misi pemindahan ibu kota negara adalah untuk mengurangi beban Jakarta, itu sangat masuk akal. Sepanjang ibu kota masih berada di Jakarta, maka selama itu juga beban selalu ada dan mungkin bakal semakin bertambah. Beban tersebut misalnya lonjakan jumlah penduduk, kemacetan lalu lintas, banjir, dan seterusnya.

Maka dari itu, sembari menunggu realisasi pemindahan ibu kota, harus ada persiapan lain yang turut dipikirkan sungguh-sungguh, yakni terkait posisi Jakarta. Bukan cuma soal perubahan status "DKI" yang tercabut, tetapi juga nasib usai tidak lagi berada "sekamar" dengan pemerintah pusat. Jakarta wajib dipastikan siap lepas dari bayang-bayang pemerintah pusat supaya lebih mandiri dan kuat.

Baiklah bahwa Jakarta tidak mungkin "kelaparan" karena sumber penghasilannya akan terus ada, mengingat status pusat bisnis masih disandang, namun bagaimana dengan sisi ketergantungan lain dengan pemerintah pusat? Tidak terlihat semacam ketergantungan, cuma terasa demikian. Sebenarnya kalau Jakarta tidak mau dikatakan "bergantung", hal itu bisa ditegaskan dalam bentuk tindakan.

Di atas disebut Jakarta masih "sekamar" dengan pemerintah pusat. Apakah Jakarta siap tidur dan bangun sendiri? Maksudnya, apakah Jakarta akan terus berbenah tanpa harus menunggu desakan atau himbauan pemerintah pusat? Ambil contoh dari peristiwa bencana banjir beberapa hari terakhir. Apakah ke depan Jakarta masih akan berdebat tentang siapa yang mengambil alih tanggungjawab mengendalikan air dari hulu dan hilir?

Mengapa pula diksi "normalisasi dan naturalisasi" lebih penting dibahas ketimbang menjalankan langkah-langkah nyata agar bencana banjir dapat diminimalisir? Mau sampai kapan berdebat soal ini? Selanjutnya, apakah penanganan kemacetan tetap diupayakan meskipun Jakarta bukan lagi ibu kota negara? Akankah Jakarta terus "mempercantik" diri walau jarang didatangi para pejabat dari luar negeri?

Kiranya masih banyak pertanyaan lain. Sekian pertanyaan tadi tentu ada yang remeh untuk dijawab dan ada yang rumit untuk direnungkan. Tergantung dari sisi mana dan bagaimana menanggapinya. Bila mau disingkat, pertanyaan intinya ada 2 (dua): Apakah Jakarta sudah siap ditinggal oleh pemerintah pusat? Apakah Jakarta mampu "mengkoordinir" wilayah-wilayah di sekitarnya (setidaknya Bodetabek)?

Harus siap dan mampu! Jakarta wajib membuktikan bahwa bisa mandiri dan menjadi "panutan". Artinya ke depan tidak boleh "bergantung" dari campur tangan pemerintah pusat. Dan yang lebih penting, tidak perlu ada perdebatan dengan Debotabek soal tanggungjawab pengendalian banjir dari hulu ke hilir. Jakarta harus menunjukkan "kesulungannya" dan mau bersikap dewasa.

Bicara kesiapan untuk mandiri dan dewasa, Jakarta yang dimaksud bukanlah fisik kota, melainkan manusia (warga). Maka agar warganya siap, tentu butuh arahan pemimpin berani, hebat dan kuat. Apakah maksudnya Gubernur Anies Baswedan tidak memenuhi kriteria kepemimpinan itu? Sebagian sudah dan sebagian lagi belum.

Maksudnya adalah Anies perlu menempa diri lebih keras lagi jika masih mau memimpin Jakarta. Apakah beliau akan mencalonkan diri di Pilkada 2022? Hanya beliau yang tahu. Kalau masih mau dan akhirnya berhasil terpilih untuk kedua kalinya, pengalamannya selama 5 (lima) tahun sangat berguna. Maka memang di 2 (dua) tahun tersisa ini, beliau harus giat melatih diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun