Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Trump Mungkin Sulit Lengser, tapi Mimpinya Terancam Bergeser

19 Desember 2019   16:00 Diperbarui: 19 Desember 2019   16:24 1463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden ke-45 Amerika Serikat (AS), Donald John Trump secara resmi didakwa pemakzulan (impeachment) oleh Kongres DPR usai melakukan pemungutan suara pada Rabu (18/12) pukul 20.09 waktu Washington atau pukul 08.09 WIB. Artinya, dalam 243 tahun sejarah AS, pria berusia 73 tahun itu menjadi presiden ke-3 yang berhasil dimakzulkan di level DPR. Perlu diketahui, mayoritas kursi di DPR yang diketuai Nancy Pelosi dikuasai oleh Partai Demokrat, yang notabene lawan politik Trump (Partai Republik).

Dari 435 anggota DPR, sebanyak 427 orang memberikan suara atas dua pasal dakwaan yang menjerat Trump, antara lain penyalahgunaan kekuasaan dan menghalangi penyelidikan kongres. Untuk pasal pertama, sebanyak 230 suara mendukung dan 197 suara menolak. Sementara untuk pasal kedua, sebanyak 229 suara mendukung dan 198 suara menolak.

Proses berikutnya berada di tangan Kongres Senat yang terdiri dari 100 anggota, apakah menyetujui pemakzulan atau tidak. Senat akan bersidang pada Januari 2020. Nasib Trump bakal ditentukan, dilengserkan atau tidak. Namun patut diketahui, kalau kursi DPR terbanyak dimiliki Demokrat, kursi Senat malah dikuasai Republik. Lengser tidaknya Trump bergantung dari terpenuhinya dua per tiga suara senat yang setuju pemakzulan.

Masalah pemicu yang membuat Trump menghadapi dua pasal dakwaan pemakzulan oleh DPR berawal dari adanya laporan bahwa dirinya menelepon Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada 25 Juli 2019. Trump meminta Zelensky untuk menekan Joe Biden (mantan wakil Barack Obama) yang merupakan calon rivalnya di Pilres 2020, yang rencananya akan diselenggarakan pada Selasa, 3 November 2020.

Zelensky diminta Trump menginvestigasi Joe Biden dan puteranya Hunter Biden. Pada 2014 hingga 2019, Hunter Biden masuk sebagai anggota direksi perusahaan Ukraina bernama Burisma, yang dituding menjalankan praktik korupsi. Di sini Trump mungkin ingin mencari celah supaya Joe Biden sulit maju di Pilpres 2020.

Tidak hanya itu, demi terpenuhi permintaannya, Trump bahkan sampai menahan bantuan militer ke Ukraina senilai 391 juta dolar AS atau sekitar Rp 5,4 triliun, dengan maksud supaya Zelensky memperjuangkan penyelidikan. Dan ternyata setelah diselidiki pihak Ukraina, Joe Biden dan Hunter Biden dinyatakan tidak terlibat praktik korupsi, seperti yang dituduhkan Trump. Bukti-bukti untuk itu tidak ditemukan.

Demikian alasan mengapa Trump didakwa pasal penyalahgunaan kekuasaan (untuk kepentingan politik di Pilpres 2020). Lalu alasan atas pasal menghalangi penyelidikan, yakni saat kongres DPR memanggil Trump untuk memberikan klarifikasi dan konfirmasi, dirinya tidak pernah hadir. Bahkan Trump mengecam DPR dan menganggap mereka menghina (simbol) negara.

Kalau mau dipertegas lagi, kesalahan fatal Trump setidaknya ada tiga, yaitu memanfaatkan kekuasaannya sebagai presiden demi memuluskan kepentingan politiknya di Pilpres 2020 (supaya terpilih kembali), memaksa negara lain (Ukraina) terlibat di urusan pribadinya, dan mempermalukan warga negaranya sendiri. Warga AS malu sebab untuk ketiga kalinya presiden mereka dimakzulkan.

Mengapa Joe Biden yang disasar Trump, bukankah kandidat rivalnya di Pilpres 2020 sampai sekarang cukup banyak yakni mencapai 17 orang, di antaranya ada Tulsi Gabbard, Michael Bloomberg, Elizabeth Warren, Bernie Sanders? Apakah artinya Joe Biden lawan terberat? Tampaknya begitu. Dibandingkan kandidat lainnya, Joe Biden lebih "membahayakan", karena selain disokong Demokrat, juga mantan wakil presiden. Barack Obama pun bisa dipastikan akan berada di belakang Joe Biden.

Akankah Kongres Senat ikut memakzulkan dan melengserkan Trump dari kursi kepresidenan? Menurut penulis, Kongres Senat tidak akan melakukan itu. Pemakzulan Trump bakal berhenti di meja Kongres DPR. Meski tidak jadi dimakzulkan, "ulah" Trump di tahun ini tentu berefek negatif pada mimpinya untuk maju meraih jabatan di periode kedua.

Bila tidak memperbaiki sikap, Trump kemungkinan besar gagal di Pilpres 2020. Sebagian warga AS sudah muak dengan tindakan dan tutur katanya sepanjang empat tahun terakhir. AS sering berkonflik (terutama masalah dagang) dengan negara-negara lain. Penguasaan kursi oleh Demokrat di Kongres DPR juga akan menghambat kemulusan langkah Trump memperebutkan kursi presiden untuk empat tahun ke depan.

Berikut hasil analisis penulis sehingga berani menebak Kongres Senat tidak akan mendukung pemakzulan terhadap Trump:

Pertama, mayoritas kursi Senat dikuasai Republik, yaitu sebanyak 53 kursi, sementara 47 lainnya milik Demokrat. Kalau perwakilan Republik sudah kompak mendukung Trump, maka artinya syarat dua per tiga suara untuk mengesahkan pemakzulan menjadi tidak terpenuhi. Kecuali ada dari Republik yang mau "membelot" dan mendukung suara Demokrat.

Kedua, Trump bukanlah presiden pertama yang dimakzulkan DPR. Dakwaan serupa pernah dialami oleh Andrew Johnson (presiden AS ke-17) pada 1868 atas kasus pemecatan panglima perang, dan Bill Clinton (presiden AS ke-42) pada 1998 gara-gara skandal perselingkuhan dengan seorang pekerja imigran berusia 21 tahun bernama Monica Lewinsky. Sebagai pengingat, hari ini, Kamis (19/12), tepat 21 tahun Bill Clinton dimakzulkan (19 Desesmber 1998).

Sebenarnya masih ada satu lagi yang hampir dimakzulkan, yaitu Richard Nixon (presiden AS ke-37) pada 1974 gara-gara kasus Watergate. Namun sebelum didakwa, dirinya memutuskan mengundurkan diri dari jabatan pada 9 Agustus 1974. 

Dan wajib diketahui, Andrew dan Bill Clinton tidak mengakhiri jabatan sebagai presiden karena pemakzulan. Kongres Senat gagal memakzulkan mereka berdua sebab syarat dua per tiga suara tidak terpenuhi. Mungkinkah Trump bernasib sama dengan kedua pendahulunya itu? Semoga saja.

Ketiga, masa jabatan Trump sebagai presiden kurang dari satu tahun, atau tepatnya tinggal 10 bulan. Opsi melengserkannya di tengah jalan mustahil dilakukan karena akan menyebabkan terjadinya goncangan di AS, di samping mempertimbangkan betapa pusingnya mengurus transisi kepemimpinan. AS akan memilih mempersiapkan diri sebaik-baiknya dalam menyongsong Pilpres 2020.

Keempat, melanjutkan pemakzulan terhadap Trump tidak hanya "memukul" AS, tetapi juga negara-negara lain di dunia. Ambil contoh saja, usai Trump dimakzulkan di level Kongres DPR, Indonesia ternyata menanggung imbas negatifnya. Hari ini mata uang Rupiah menjadi yang terlemah di Asia, yakni 1 dolar AS setara dengan Rp 13.980 atau melemah 0,07%.

Sebagai negara berpengaruh di dunia, apa pun yang terjadi di AS pasti akan berimbas kepada negara-negara lainnya, baik dalam kondisi positif maupun negatif. Munculnya gejolak politik dan ekonomi di AS bukan kabar indah bagi negara-negara lain yang punya hubungan bilateral.

Kiranya keempat hal di atas yang jadi bahan pertimbangan Kongres Senat dan sebagian warga AS untuk tidak setuju melanjutkan pemakzulan terhadap Trump. Terima kasih.

***

[1] [2] [3] [4] [5]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun