Entah sudah berapa kali kota Jakarta diguyur hujan sepanjang tahun ini. Yang jelas tiap kali terjadi, pasti menimbulkan genangan air dan bahkan banjir, baik di ruas-ruas jalan, pusat bisnis, maupun di wilayah permukiman penduduk.
Tidak ada cara ampuh untuk menahan air yang jatuh dari langit. Itu dikendalikan oleh alam. Yang bisa dilakukan manusia yaitu membiarkan air itu jatuh meresap ke dalam tanah, mengalir menuju muara, atau pun ditampung untuk kebutuhan tertentu.
Intinya, manusia hanya bisa mengendalikan air yang sudah jatuh dan mengalir agar tidak menimbulkan bencana, tak terkecuali oleh pemerintah dan warga ibu kota. Menghindari terjadinya pembuangan sampah di sembarang tempat merupakan salah satu cara untuk menghindari bencana itu.
Supaya sampah tidak dibuang sembarangan, setiap warga harus diberi edukasi dan himbauan sehingga sadar akan bahaya. Tidak berhenti di situ, pemerintah selaku pengelola wilayah pun mesti pro aktif mencegah terjadinya banjir, misalnya memperbaiki saluran-saluran air, memperbanyak sumur resapan, dan sebagainya.
Apakah selama ini Pemprov DKI Jakarta sudah melakukan sekian upaya tadi? Jawabannya, tentu sudah. Namun yang paling penting sebenarnya adalah seberapa konsisten atau sering melakukannya. Alam tidak akan menunggu apakah manusia sudah siap mengantisipasi munculnya air dalam volume tak menentu atau tidak.
Sudah konsistenkah Pemprov DKI Jakarta menangani luapan air dan banjir? Pasti sebagian pihak mengatakan sudah dan sebagian lagi tidak. Akan tetapi faktanya banjir selalu muncul. Padahal kalau dilihat kembali tiga tahun terakhir, frekuensi terjadinya banjir tidak sesering di dua tahun belakangan ini.
Jika dipahami betul, salah satu masalah terbesar ibu kota yakni banjir. Lalu mengapa sekarang ini sungai-sungai dan waduk tidak dibersihkan dari sampah yang menumpuk? Mengapa normalisasi sungai tidak diintensifkan?
Mengapa anggaran untuk membebaskan lahan di pinggiran sungai malah dipotong dan dialihkan ke hal-hal yang tidak mendesak? Mengapa lomba balapan mobil listrik justru diprioritaskan sementara anggaran untuk menangani banjir tidak dialokasikan maksimal? Bukankah saat ini lagi musim penghujan?
Selanjutnya, mengapa Pemprov DKI Jakarta cuma sibuk mempercantik kota, membongkar jembatan penyebrangan orang (JPO) demi lokasi berfoto, memperlebar trotoar agar nyaman dilalui pejalan kaki (meskipun akhirnya mempersempit jalur kendaraan bermotor), dan sebagainya?
Betul, kota Jakarta perlu diperindah supaya nyaman dilihat, tetapi bukan itu kebutuhan utama warga. Yang dibutuhkan warga itu adalah kenyamanan beraktivitas, baik di kala musim kemarau maupun hujan. Sadarkah Pemprov DKI Jakarta, bahwa dengan sering terjadinya banjir membuat beragam fasilitas "sekunder" menjadi tidak berguna?
Sila disaksikan saja saat terjadi banjir kemarin (Selasa, 17/12/2019), warga akhirnya tidak bisa menjalankan aktivitasnya secara normal, tidak bisa melewati trotoar (karena genangan air yang tinggi), kendaraan bermotor macet di jalan (selain banjir, jalanan juga sempit), para pemburu foto kesulitan mengambil gambar di JPO instagramable, banyak kendaraan yang rusak bahkan terbawa aliran air, dan lain-lain.
Sekali lagi, Pemprov DKI Jakarta yang dikomandoi oleh Gubernur Anies Baswedan jangan terlalu sibuk mempercantik kota ketimbang mengurus kebutuhan pokok warga. Tampilan kota cantik itu keinginan. Jadi jangan sampai keinginan mengalahkan kebutuhan.
Indikator kemajuan Jakarta tidak boleh digantungkan pada satu aspek, kecantikan kota. Warga tidak mungkin bahagia (sesuai slogan "maju kotanya, bahagia warganya") jika setiap saat terganggu keamanan dan kenyamanannya. Kedua hal ini harus dijamin dalam keadaan apa pun, baik di kala terik maupun hujan.Â
Pak Anies, jangan lupa keruk sungai dan waduk yang lagi mengalami pendangkalan. Banyak sungai penuh sampah, dan wajah Waduk Pluit yang dulu menarik (bebas dari sampah) kini mengerikan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H