Sulitkah mencari bahan candaan (prank) selain upaya bunuh diri? Etiskah mempertontonkan sesuatu hal yang mengganggu psikologi publik?
Saya sendiri kurang paham, mengapa belakangan ramai pembuatan konten di media sosial (medsos) oleh para figur publik yang menurut saya cukup aneh, tidak mendidik dan nihil manfaat.
Misalnya saja, untuk mengisi akun Youtube, Instagram, Facebook dan jenis medsos lain, mereka kerap memotret atau merekam bahan konten yang menurut mereka menarik dilihat atau dikunjungi (ditonton) penggemar. Padahal kalau diperhatikan, amat receh.
Khusus bentuk video umpamanya, mulai dari memamerkan jumlah saldo ATM hingga membuat aksi "prank". Beberapa waktu lalu, soal "prank" terhadap tukang ojek online sempat geger dan dikritik, sebab dinilai mengganggu dan melecehkan profesi tertentu.
Dan kali ini, "prank" jenis baru muncul, yaitu upaya bunuh diri yang dilakukan oleh seorang artis bernama Aida Saskia. Lewat siaran langsung (live) di akun Instagramnya, Aida mengaku ingin mengakhiri hidupnya dengan meminum obat pembersih lantai.
Namun setelah ramai, manajer Aida bernama Madi mengonfirmasi bahwa tayangan di Instagram tidak sungguhan, melainkan hanya bahan candaan atau iseng-iseng, yang sengaja dibuat oleh anggota tim.
"Yang nge-prank itu anak-anak, anak timnya (Aida), orang make up. Ya seperti itulah nge-prank-prank kan," ujar Madi (10/12).
Akibat ulah Aida dan anggota timnya itu, ahli kesehatan jiwa dr. Andri, SpKJ, FAPM dari RS Omni Alam Sutera sampai ikut berkomentar. Beliau mengatakan bunuh diri tidak pantas dibuat untuk aksi iseng-iseng atau bercanda.
Menjadikan bunuh diri sebagai bahan candaan merusak gerakan edukasi yang selama ini diberikan kepada masyarakat agar peduli masalah kesehatan jiwa. Sedang galau karena masalah keluarga (perceraian) tidak boleh jadi alasan bagi Aida untuk membuat konten yang tidak edukatif.
"Kita kalangan praktisi kesehatan jiwa, teman-teman yang aktif di perkumpulan organisasi untuk pasien depresi, dan para penyintas bunuh diri pasti merasa sedih kalau melihat ada orang yang membuat candaan tentang bunuh diri. Saya juga tidak pernah berhenti melakukan edukasi lewat media sosial agar masyarakat lebih aware terhadap masalah kejiwaan. Nah, di lain pihak ada orang yang menganggap itu bercandaan, jadi kita rasanya kok prihatin," kata dr. Andri (10/12).
Tidak hanya dr. Andri yang berkomentar, Benny Prawira, pendiri komunitas Into The Light Indonesia menegaskan "prank" bunuh diri tidak pantas dilakukan seorang figur publik. Ulah Aida dan timnya dianggap membuat upaya mencari bantuan sungguh-sungguh melalui medsos menjadi rancu.
"Itu tidak lucu. Karena kita tahu di Indonesia masih percaya mitos bahwa orang-orang yang meminta bantuan di media sosial itu adalah orang-orang yang hanya mencari perhatian. Jadi yang dikhawatirkan dari peristiwa ini adalah orang-orang makin percaya dengan mitos tersebut," kata Benny.Â
Benny pun menyarankan, bila Aida tengah galau dan mengidap tekanan psikis, sebaiknya segera berkonsultasi dengan psikiater atau psikolog. Bukan dengan mengacaukan pandangan publik di medsos.Â
Kasus meninggalnya dua artis Korea beberapa waktu yang lalu saja sangat mengganggu psikologi publik, seolah keputusan terbaik untuk menghindari masalah adalah bunuh diri.
Semoga Aida dan timnya berhenti melakukan itu dan orang lain (terutama figur publik) tidak mencontoh hal yang sama. Bisa saja ke depan, seseorang (amit-amit) yang sesungguhnya butuh bantuan di medsos, tapi karena para pengguna lain 'trauma' dengan ulah Aida dan tim ini, malah ogah dan menganggapnya "prank".
Hai para pemburu konten, bijaklah dalam bertindak!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H