Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pak Nadiem, Bikin Akun Medsos, Plis!

7 Desember 2019   12:42 Diperbarui: 7 Desember 2019   13:24 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim bukanlah satu-satunya pembantu Presiden Joko Widodo di Kabinet Indonesia Maju (KIM) yang sampai saat ini diketahui publik tidak (mungkin belum) memiliki akun media sosial (medsos), baik itu Facebook, Twitter, Instagram atau pun sejenisnya.

Selain Nadiem, jajaran pembantu lain presiden yang barangkali masih nyaman menggunakan media komunikasi terbatas (SMS, telepon atau whatsapp) yaitu Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Mensekneg Pratikno, Menteri Kesehatan Terawan, Menteri Agama Fachrul Razy, Menteri ESDM Arifin Tasrif, dan termasuk pula Jaksa Agung Burhanudin.

Dan bahkan, ternyata terungkap juga, Basuki malah lebih 'ekstrim' lagi, tidak gunakan aplikasi whatsapp karena memang telepon selulernya (ponsel) belum tersentuh sistem Android.

Basuki cuma bisa dihubungi secara pribadi lewat telepon dan SMS. Hal itu diungkap oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 18 Oktober 2019 saat acara perpisahan para menteri di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian.

Tentu masing-masing menteri (plus jaksa agung) tadi punya alasan tersendiri mengapa mereka enggan menyibukkan diri memanfaatkan beragam aplikasi teknologi. 

Bisa jadi seperti yang diakui Nadiem bahwa alasannya adalah demi mendapatkan ketenangan psikologis, dan bisa juga sebagai pejabat publik, dalam hal meng-update informasi, media arus utama (media massa, televisi) lebih disenangi dan dipercaya.

Atau alasan berikutnya, toh ketika ingin menyampaikan sesuatu hal ke publik lewat medsos, instansi sudah punya akun resmi, misalnya memberi pengumuman, perkembangan kinerja, kebijakan terbaru, salinan pidato, dan sebagainya.

Di sebuah kegiatan wawancara di televisi pada Sabtu, 23 November 2019, Nadiem mengaku dua tahun lalu pernah punya dua akun medsos, tapi kemudian dihapusnya. Baginya, medsos sangat mengganggu suara hati dan membuat orang tidak mandiri mengambil keputusan.

Jadi, kalau di medsos terdapat akun yang mengatasnamakan Nadiem, itu palsu dan dibuat orang yang tidak bertanggungjawab. Penegasan serupa disampaikan pihak Kemendikbud di akun Twitter resminya (@Kemdikbud_RI) pada Rabu, 30 Oktober 2019.

"#SahabatDikbud, saat ini Mendikbud Nadiem Makarim tidak memiliki akun media sosial. Jika ada akun atas nama Mendikbud Nadiem Makarim, berarti akun tersebut palsu. #cerdasberkarakter #cerdasberliterasi," tulis akun tersebut.

Sekali lagi, menggunakan medsos atau tidak merupakan hak pribadi Nadiem. Mengulang lagi, apa yang akan disampaikannya ke publik pasti bisa melalui akun resmi Kemendikbud. Tidak punya akun medsos pribadi pun, Nadiem tetap populer.

Populernya Nadiem bukan hanya karena orang tahu beliau lulusan Harvard University dan pendiri Gojek, tetapi juga label dan aksi terbarunya belakangan ini. Label tersebut yaitu beliau merupakan menteri termuda (usia 35 tahun) di pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Sementara aksi terbaru yang dimaksud adalah membuat pidato inspiratif pada peringatan Hari Guru Nasional 2019 yang akhirnya tersebar luas di medsos, di setiap kunjungan (dinas dan rapat) selalu membawa tas ransel, dan terakhir Rabu lalu (4/12) saat menghadiri acara pelantikan Rektor Universitas Indonesia (UI), beliau (mengaku) membuang naskah pidato yang sengaja disusun untuknya serta memilih menggunakan dress code seadanya (baju batik, celana jeans, dan sepatu tanpa kaos kaki).

Kejadian di UI itu saja sudah cukup menambah popularitas Nadiem. Sebab di medsos dan media online, namanya kembali terangkat ke permukaan. Jadi buat apa lagi Nadiem memoles diri supaya semakin terkenal?

Namun, barangkali Nadiem belum sadar bahwa dirinya sekarang sudah jadi "milik" rakyat Indonesia, baik pejabat di pemerintahan, para PNS, maupun seluruh peserta didik.

Berbeda ketika Nadiem masih menjabat CEO Gojek, segala aspirasi dan keluhan pelanggan bisa ditampung dan ditanggapi jajarannya. Petugas admin medsos Gojek langsung menindaklanjuti dengan cepat dan gampang. Sekarang beliau bukan lagi pejabat perusahaan, tapi pejabat pemerintahan.

Entah ditanggapi dalam bentuk direct message (DM) atau retweet with comment atau tidak oleh admin Twitter Kemendikbud, faktanya ada salah satu akun yang tampaknya melayangkan protes atas keputusan Nadiem tidak menggunakan medsos pribadi.

"Piye to Pak... Kalau masyarakat mau ngeluh lalu bagaimana? Pakai merpati pos?," tulis akun @sripuspirit membalas cuitan akun @Kemdikbud_RI.

Artinya apa? Dasar keputusan Nadiem menggunakan medsos pribadi tidak boleh didasarkan demi ketenangan pribadi, menghindari pengaruh "kata orang", atau tidak mau buang-buang waktu.

Bukan tidak percaya petugas admin menindaklanjuti keluhan warga di akun resmi Kemendikbud, tetapi Nadiem perlu menyapa warga (khususnya peserta didik) lewat akun pribadinya. Rasanya pasti beda.

Nadiem harus bisa meluangkan waktu untuk "blusukan" online, seperti Presiden Jokowi yang tidak hanya mengandalkan kunjungan kerja fisik. Bahkan terkadang Presiden Jokowi mengaku lebih banyak "belanja" masalah di medsos ketimbang di lapangan.

Tahukah Nadiem bahwa informasi tentang sekolah rubuh, gaji guru honorer tertunda, siswa putus sekolah, dana BOS 'disunat', dan berbagai keluhan lain lebih banyak 'berseliweran' di medsos daripada di media arus utama, yang belum tentu juga terjangkau (dan ditanggapi) oleh petugas admin Kemendikbud?

Come on, Pak Nadiem. Betul, ukuran milenial seseorang itu tidak tergantung pada seberapa banyak menggunakan aplikasi medsos, tapi seorang Mendikbud yang punya tugas menumpuk mestinya mau menyisihkan waktu memantau masalah melalui "teropong" medsos.

Tidak harus banyak kok, Pak Nadiem. Salah satu saja, misalnya Facebook. Aplikasi ini dipakai semua kelas masyarakat, di perkotaan dan perdesaan. Yakinlah, di sana banyak masalah yang dikeluhkan, jangan andalkan laporan resmi atau menunggu viral di layar televisi.

Mau kan, Pak Nadiem? Bapak pasti tidak mungkin menjelajahi seluruh pelosok negeri untuk mendengar keluhan warga dan menyapa mereka dalam waktu lima tahun ke depan, yakinlah. Tapi di medsos, bapak bisa bolak-balik melakukan itu setiap saat, kapan bapak mau dan kapan punya mood baik.

***

[1] [2] [3]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun