Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Usulan Sekolah Cukup 3 Hari dari Kak Seto Menarik, Tapi...

5 Desember 2019   02:37 Diperbarui: 5 Desember 2019   02:38 1585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi | Gambar: KOMPAS.com

Ternyata selain usulan meniadakan Ujian Nasional (UN) di sekolah, yang diharapkan oleh beberapa praktisi pendidikan agar dapat diterapkan pada 2020 mendatang karena dinilai menambah beban para pelajar, muncul pula usulan baru dari Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau yang akrab dipanggil Kak Seto.

Usulan dari Kak Seto tersebut adalah soal pengurangan jumlah hari belajar efektif di sekolah atau lembaga pendidikan tiap minggu, yakni dari yang selama ini 5 atau 6 hari menjadi 3 hari. 

Ya, Kak Seto berharap di tengah perombakan kurikulum, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mau mengakomodir usulannya, sekolah cukup 3 hari saja. Tidak hanya itu, Kak Seto juga mengusulkan jam belajar diperpendek menjadi 3 jam per hari. 

Kak Seto beralasan bahwa hari belajar yang terlalu panjang cenderung membuat para pelajar tertekan, kekurangan waktu luang bersama keluarga, serta kehilangan kesempatan dalam mengembangkan minat dan bakat.

Belum lagi pekerjaan rumah (PR) yang diberikan terlalu banyak, hal itu melelahkan karena menyita waktu istirahat. Intinya Kak Seto tidak ingin peserta didik diperlakukan seperti robot. Peserta harus senang dan nyaman saat bersekolah.

Dengan berkurangnya hari dan jam belajar, Kak Seto menilai pelajar nantinya mampu berprestasi di bidang akademik maupun non akademik. Untuk non akademik misalnya pelajar bisa mengembangkan bakat jadi pengusaha, atlet dan sebagainya dengan memanfaatkan waktu luang.

Bukan tanpa dasar Kak Seto mengusulkan gagasannya, ia mengaku sudah membuktikannya di lembaga pendidikan miliknya berupa homeschooling yang ia dirikan 13 tahun yang lalu di Bintaro, Tangerang Selatan. Homeschooling itu bekerjasama dengan Universitas Cambridge di Inggris.

"Nah kami sudah membuat percobaan sekolah selama 13 tahun ini. Sekolah seminggu hanya tiga kali. Per hari hanya tiga jam. Tapi lulusannya yang masuk Kedokteran ada di UI, Gadjah Mada, dan Undip. Kemudian USU dan Unhas. ITB, IPB ada. Ada yang tuna rungu, putranya Mbak Dewi Yull lulus diundang Ratu Elizabeth di London karena mampu memotivasi sesama tuna rungu," ujar Kak Seto di Jakarta, Rabu (4/12/2019).

Kak Seto berharap lembaga pendidikan tidak melulu menuntut kemampuan akademik, tetapi juga mesti menghargai potensi dan dinamika hidup masing-masing anak.

"Saya dulu Matematika paling tinggi dapat empat. Alhamdulillah masih hidup karena disalurkan Matematika itu jadi nyanyi, olahraga, bela diri, dan sebagainya," tutur Kak Seto.

Usulan Kak Seto menarik, karena di samping demi mengefektifkan waktu belajar di sekolah, pendidikan Indonesia diharapkan dapat berkembang lebih baik dengan mencontoh sistem dan pola yang berlaku di negara-negara maju.

Ambil contoh di Finlandia, salah satu negara yang diakui punya kualitas pendidikan terbaik di dunia. Mirip dengan gagasan Kak Seto, negara itu telah menerapkan yang namanya efektifitas belajar.

Jumlah hari belajar tiap minggu di Finlandia tetap 5 hari, sementara jam belajar berkisar 4 sampai 5 jam per hari, dan tidak ada PR. Artinya di sini usulan Kak Seto sebagian melampaui apa yang diterapkan di Finlandia.

Bisakah sekolah-sekolah di Indonesia mengadopsi (menerapkan) sistem serta pola pendidikan homeschooling Kak Seto dan sekolah di Finlandia? Jawabannya, pasti mampu. Yang penting ada kemauan, kemampuan, dan persiapan. 

Mengenai kapan mulai diterapkan dan apakah berlaku serentak di seluruh sekolah, pemerintah (Mendikbud) yang berhak menentukan, karena memang cukup banyak yang perlu dipertimbangkan. Berikut beberapa pertimbangan itu yang mestinya juga dipahami oleh Kak Seto saat ini.

Pertama, homeschooling Kak Seto didirikan dengan konsep berbeda, tidak seperti sekolah-sekolah formal pada umumnya. Dinamika perjalanannya selama 13 tahun juga pasti naik-turun. Maksudnya, merubah budaya di sekolah formal tampaknya agak sulit karena sudah mengakar lama.

Kedua, tidak semua sekolah sanggup bekerjasama dengan lembaga pendidikan luar negeri, semisal homeschooling Kak Seto dan Universitas Cambridge. Kerjasama tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Jangankan biaya untuk kerjasama; pengadaan fasilitas, sarana dan prasarana memadai di setiap sekolah di Indonesia saja belum merata. Ratusan ribu sekolah kondisi fisiknya tidak sama.

Ketiga, Kak Seto perlu menyadari bahwa pendidikan di Finlandia bisa maju bukan semata terletak pada faktor efektifitas jadwal belajar. Di Finlandia, kondisi dan perlengkapan fisik sekolah sama, makanya di sana tidak ada label sekolah favorit atau unggulan. Artinya semuanya memang unggul.

Kelebihan lain dari Finlandia yakni, seluruh biaya pendidikan gratis. Bukan cuma uang sekolah, pemerintah Finlandia menanggung biaya (menyediakan) makan siang, transportasi dan kesehatan para pelajar. Sanggupkah pemerintah Indonesia melakukan itu, termasuk ke sekolah-sekolah swasta?

Keempat, guru atau tenaga pendidik di Finlandia sangat amat berkualitas, makanya di sana sulit menjadi guru. Mengapa? Karena seleksinya ketat, mulai dari nilai, integritas, semangat mengajar, hingga karya apa yang bisa menunjang pendidikan di Finlandia.

Para guru di Finlandia minimal memiliki gelar master dan merupakan 10 besar lulusan terbaik dari universitas asal. Oleh karena itu, imbalan atau upah yang diterima para guru pun tidak main-main, bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta (rupiah) per bulan.

Maukah pemerintah Indonesia menggaji para gurunya puluhan juta rupiah? Mimpi. Sampai sekarang saja masih banyak guru yang bergaji di bawah 300 ribu rupiah per bulan yang tidak jelas waktu pembayarannya.

Maksudnya, ketika bermimpi mau mengefektifkan jadwal belajar dan meningkatkan kualitas pendidikan, soal kompetensi sumber daya manusia (guru) dan kesejahteraan mereka patut dipertimbangkan. 

Lalu, bagaimana mungkin beban guru mengajar hanya 3 sampai 4 jam, sementara gaji mestinya dianggap penuh dan menyejahterakan? Apakah pemerintah bersedia menyiapkan dana dalam jumlah besar?

Kalaupun bisa demikian, maka berarti pemerintah wajib mengangkat seluruh guru sebagai PNS dengan gaji layak (puluhan juta), supaya fokus mempersiapkan bahan ajar tanpa sibuk kerja sambilan. 

Sekali lagi, perbandingannya Finlandia karena usulan Kak Seto mirip dengan sistem pendidikan di negara itu. Atau katakan seperti yang diterapkan di homeschooling Kak Seto.

Sedikit menebak, barangkali fasilitas sekolah dan gaji guru di homeschooling Kak Seto jauh di atas layak, sehingga konsep pendidikan di sana dengan mudah dan lancar diterapkan.

Kelima, Kak Seto (dan pemerintah) mesti sadar juga bahwa ketika bicara pengembangan bakat dan minat para pelajar, tentu berkaitan juga dengan kemampuan ekonomi masing-masing keluarga.

Bagaimana mungkin orangtua yang berpenghasilan pas-pasan mau mengusahakan anaknya ikut les ini dan itu supaya tidak keluyuran di waktu senggang usai sekolah, sementara biayanya tidak tersedia? Maukah pemerintah menyediakan dananya?

Keenam, tampaknya Kak Seto hanya gelisah dengan aktivitas tak karuan anak-anak di perkotaan yang sebagian menggunakan waktu luangnya untuk hal-hal yang tidak berguna.

Tidakkah Kak Seto melihat bahwa para pelajar di pedesaan kebanyakan habis pulang sekolah langsung membantu orangtuanya mencari nafkah, misalnya ke sawah atau ladang?

Tentu masih banyak lagi hal lain yang perlu dipertimbangkan. Menegaskan saja, usulan Kak Seto tidak salah, tapi sepertinya tidak untuk dipaksakan berlaku bagi seluruh sekolah dalam waktu cepat dan proses singkat. Seandainya mau diterapkan, bisa dimulai di sekolah perkotaan dan yang memerlukan.

Terakhir, menerima dengan lapang dada nilai Matematika di bawah standar (misalnya Kak Seto yang hanya dapat angka 4 tapi faktanya dia masih hidup sampai sekarang) tidak dianjurkan bagi mereka yang bercita-cita jadi dokter, arsitek, dan sejenisnya.

***

[1] [2] [3] [4]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun