Dalam dua minggu terakhir, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah tiga kali bicara mengenai ketimpangan, salah satunya masalah kesejahteraan sosial. Ketiga-tiganya juga disampaikan di tiga momen berbeda, yakni pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda (28 Oktober 2019), di acara Kongres Partai NasDem (8 November 2019), dan terakhir saat Peringatan Hari Pahlawan (10 November 2019).
Pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda, Anies mengkritik status Indonesia yang masuk dalam kelompok G-20 (negara dengan ekonomi terkuat), namun menurutnya hal itu berbanding terbalik dengan kondisi yang tengah dialami bangsa, di mana masih ditemukan ketimpangan yang luar biasa.
"Coba perhatikan, Indonesia masuk G-20 kan berarti kita masuk top 20, India top 20, begitu sampai di dalam negerinya ada ketimpangan luar biasa. Artinya apa? Pembangunan beberapa wilayah sudah begitu pesat sehingga dia bisa setara dengan wilayah lain, tapi sebagian tempat lainnya belum," ucap Anies.
Lalu di acara Kongres Partai NasDem mengungkap hal serupa. Di hadapan jajaran pimpinan dan kader Partai NasDem, Anies mengatakan ketimpangan merupakan persoalan di seluruh wilayah Indonesia, yang jauh dari harapan dan cita-cita para pendiri bangsa.
"Salah satu masalah yang kami rasakan, dan ini adalah masalah yang dialami di seluruh Indonesia, ada ketimpangan yang luar biasa, sementara pada saat republik didirikan di kota ini, janji republik itu adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan tujuannya tercapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," ujar Anies.
Sementara yang terakhir, yakni pada Peringatan Hari Pahlawan, Anies lagi-lagi menegaskan hal yang sama, tapi spesifik soal Jakarta. Dia berpesan kepada jajarannya supaya menyelesaikan segala permasalahan dan terus bekerja demi memperbaiki nasib warga.
"Di depan kita ada tantangan di Jakarta, ada masalah ketimpangan, ada masalah kesejahteraan, ada masalah begitu banyak. Selesaikan masalah itu, biarkan kelak anak Bapak Ibu sekalian menyebut Bapak Ibu sebagai pahlawan masalah-masalah yang ada di Jakarta," kata Anies.
Bicara soal ketimpangan sebanyak tiga kali dalam waktu berdekatan, sepertinya Anies cukup serius dan sangat prihatin. Bahkan sampai menegaskan bahwa bukan cuma terjadi di Jakarta, tetapi juga di seluruh Indonesia.
Setiap orang bisa mengatakan hal yang sama seperti yang disampaikan Anies, ketimpangan. Sah-sah saja dan tidak ada yang melarang. Apalagi kalau lagi musim kampanye, seseorang yang sedang mencalonkan diri pada posisi jabatan tertentu rasanya paling paham soal penderitaan warga.
Namun mudah-mudahan Anies bukan lagi berkampanye, karena memang sedang menjabat sebagai gubernur, nanti fokusnya bisa hilang. Semoga tidak ada hubungannya dengan persiapan menghadapi Pilpres 2024, masih cukup lama.
Kemudian, semoga pula Anies tidak sedang mengkritik pemimpin lainnya, entah yang di level nasional atau pun daerah. Jika sampai begitu, maka Anies terlalu jauh melompat. Berstatus sebagai pemimpin Jakarta ya harus bicara tentang kondisi Jakarta, itu lebih baik.
Sudah dua tahun lebih Anies memimpin ibu kota, di mana satu tahun dua bulannya dilalui tanpa pendamping. Apa yang sudah dilakukan Anies dalam rangka menekan ketimpangan sosial? Yang paling tahu jawabannya adalah Anies sendiri.
Anies pasti punya cara khusus ketika ingin menghapus yang namanya ketimpangan. Bahkan dulu saat kampanye di Pilkada 2017, dia dan Sandiaga sempat merencanakan salah satu langkah jitu, yaitu program OK-OCE.
Melalui program OK-OCE, Anies dan Sandi berjanji akan memberi akses modal bagi warga dalam berusaha, menyediakan pasar hingga mencarikan pembeli.Â
Faktanya, modal tidak ada dan wujud OK-OCE cuma jadi merek gerai minimarket. Dan yang mendirikan gerai itu akhirnya tetap pemilik modal. Tapi sudahlah, terkadang tidak semua janji bisa ditepati. Program apa lagi? Sulit menguraikannya satu per satu di sini karena memang terlalu banyak dipaparkan saat kampanye.Â
Karena turut menyinggung wilayah lain, mestinya Anies membeberkan kebijakan apa yang sudah dia lakukan di Jakarta dan dianggap berhasil. Artinya kebijakan itu di luar pemberian bantuan sosial, misalnya KJP Plus, KJM Plus, sarapan pagi gratis kepada anak-anak sekolah, dan sejenisnya.
Bantuan sosial sampai kapan pun tidak akan mampu menyelesaikan masalah ketimpangan, malah justru memeliharanya. Kebijakannya harus memberdayakan, bukan meninabobokan.
Sekali lagi, karena ikut bicara kondisi daerah lain, Anies wajib memberi solusi. Apakah solusi yang diminta untuk dicontoh itu adalah membiarkan warga berjualan di trotoar dan bahu jalan? Langkah itu terbukti ampuh, tapi melanggar aturan dan hak-hak orang lain.
Maka dari itu, Anies seharusnya tidak sekadar beretorika. Menekan ketimpangan wajib dilakukan dengan cara-cara baik, tidak melanggar aturan apalagi hak orang lain.
Mengurangi ketimpangan wajib pula terencana, bukan dari hasil mimpi. Anggaran yang disusun harus sesuai kebutuhan, bukan keinginan. APBD setiap tahunnya tidak boleh terus-menerus menuai polemik karena isinya aneh-aneh.
Jangan yang ingin dibeli sepatu (umpamanya), tapi yang ditulis lem Aibon. Atau berencana mencari hiasan yang lebih bagus dari bambu "getah-getih", tapi yang terpasang malah tumpukan batu Gabion.
Intinya, memperbaiki nasib warga (menghapus ketimpangan) harus dimulai dari hal-hal kecil dan mendasar, misalnya tadi soal penyusunan anggaran. Percuma bicara soal ketimpangan kalau faktanya anggaran (uang dari rakyat) malah disalahgunakan atau dihambur-hamburkan.
Sekian.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H