Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Maaf Pak Gubernur, Warga Lebih Suka Mengadu Lewat Medsos Ketimbang Kanal Resmi

3 November 2019   23:33 Diperbarui: 4 November 2019   16:52 1243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam rangka mempercepat proses aduan warga, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ternyata telah meluncurkan sebuah aplikasi baru yang bernama Citizen Relations Management (CRM) atau istilah lainnya sistem Cepat Respon Masyarakat.

Aplikasi ini sendiri sudah mulai aktif kurang lebih satu tahun yang lalu, di mana penggunaannya diatur berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 128 Tahun 2017.

Dengan adanya aplikasi CRM, warga diharapkan dapat melaporkan berbagai persoalan (non-darurat) yang tengah dihadapi sebagai wujud partisipasi dalam mengoptimalisasi kinerja pemerintah daerah. Antara lain misalnya soal kuantitas dan kualitas pelayanan publik, penambahan atau perbaikan fasilitas, dan sebagainya.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meluncurkan aplikasi Citizen Relations Management (CRM) untuk memproses aduan masyarakat untuk diselesaikan (Gambar: Dokumen Humas Pemprov DKI Jakarta) | KOMPAS.com
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meluncurkan aplikasi Citizen Relations Management (CRM) untuk memproses aduan masyarakat untuk diselesaikan (Gambar: Dokumen Humas Pemprov DKI Jakarta) | KOMPAS.com
Meskipun sebagai aplikasi aduan, bukan berarti CRM menerima langsung setiap keluhan individu per individu, melainkan hanya menindaklanjuti rekaman laporan dari 13 kanal pengaduan resmi yang terbagi dalam 3 kategori atau basis yaitu geotagging, non-geotagging dan tatap muka.

Ketigabelas kanal yang dimaksud antara lain Jakarta Kini (Jaki), Qlue, Twitter (@DKIJakarta), Facebook (Pemprov DKI Jakarta), e-mail (dki@jakarta.go.id), Balai Warga (pada laman jakarta.go.id), SMS Lapor 1708, SMS 08111272206, Kantor Kelurahan, Kantor Kecamatan, Surat Gubernur, Pendopo Balai Kota, dan Kantor Inspektorat.

Artinya, tetap saja warga harus menyampaikan aduan (keluhan atau laporan) melalui salah satu atau beberapa dari sekian kanal resmi tadi. Aplikasi CRM hanya menghimpun dan mengoordinasikan berbagai aduan ke masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD) agar ditanggapi secara cepat dan efektif.

Maka dari itu, pada aplikasi CRM, setiap kelurahan dan dinas terkait dibuatkan mini dashboard yang secara berkala meng-update notifikasi aduan warga. Dan sebagai bukti transparansi pekerjaan OPD, proses tindak lanjut aduan dapat dipantau secara daring.

Masyarakat dapat mengikuti perkembangan aduannya melalui sistem pelacakan pada situs web Pengaduan Warga di pengaduanwarga.jakarta.go.id. Bila laporan sudah selesai ditangani OPD, bukti berupa foto akan diunggah oleh petugas dan dapat diakses oleh masyarakat luas.

Itulah kira-kira gambaran umum mengenai aplikasi CRM. Lebih lanjut, sila cek langsung keberadaan aplikasi tersebut. Semoga saja sungguh bermanfaat dalam mempercepat penanganan aduan warga.

Akan tetapi pertanyaannya adalah, betulkah warga sudah maksimal menggunakan beragam kanal resmi untuk menyampaikan aduannya? Tentu yang paling tahu jawabannya masing-masing warga.

Memahami fungsi aplikasi CRM, tampaknya tidak jauh berbeda dengan Qlue yang sempat berjaya waktu lalu dan kini mulai ditinggalkan. Dulu aduan yang masuk lewat Qlue bisa mencapai 1.500 per hari. Mengapa Qlue ditinggalkan? Barangkali alasannya bisa karena sudah tidak ada yang perlu diadukan atau lambannya tindak lanjut dari OPD.

CRM dan Qlue sangat mirip, berguna untuk menindaklanjuti aduan warga. Jika demikian, mengapa seolah saling tumpang tindih? Untuk apa lagi mempertahankan Qlue kalau sudah ada CRM? Apakah maksudnya bahwa di samping menghimpun dan mengkoordinasikan aduan, CRM juga berfungsi menyeleksi hal-hal penting saja?

Terlalu banyak aplikasi dan kanal, akhirnya sebagian warga mengalami kebingungan dan ogah lagi mengajukan aduan. Ditambah pula tidak ada jaminan pasti, kanal mana yang prioritas ditanggapi oleh OPD.

Mestinya aplikasi utama cukup satu saja dan kanal yang diaktifkan tidak perlu banyak. Semakin berjenis-jenis aplikasi dan kanalnya, justru akan memperlama proses tindak lanjut aduan. Karena semua harus ditampung terlebih dahulu untuk dipelajari dan diseleksi agar tidak terdapat aduan yang sama persis.

Itu soal banyaknya aplikasi dan kanal. Hal lain yang kadang membuat warga tidak tertarik menyampaikan aduan yakni, seperti yang disampaikan di atas, cara resmi malah mengulur waktu proses penyelesaian.

Satu poin penting yang wajib dipahami oleh Pemprov DKI Jakarta dan juga pemerintah daerah lainnya adalah fenomena penggunaan media sosial (medsos) pribadi.

Orang-orang yang aktif di medsos (apalagi selebgram, selebtwit atau apalah namanya) dan punya pengalaman "pahit" ketika berhadapan dengan birokrasi, sudah pasti akan lebih suka menyampaikan keluh-kesahnya (menyangkut kinerja pemerintah) melalui akun pribadi, dan bahkan grup (Facebook dan Whatsapp).

Bahwa beberapa ada yang mengadu lewat akun resmi pemerintah, betul. Namun jumlahnya tidak sebanyak yang melalui akun pribadi atau grup. Mengapa?

Pertama, soal eksistensi pribadi. Maksudnya adalah, ketika seseorang menyampaikan aduan (keluhan, pendapat, kritikan) ke akun pribadi atau grup, otomatis dia berharap diakui sebagai sumber atau pemilik. Dan jika menarik perhatian orang (akun) lain, maka potensi dia dikenal terbuka lebar. Jumlah pertemanan atau follower-nya bakal bertambah,

Kedua, ada semacam keraguan bahwa aduan yang disampaikan lewat kanal resmi belum tentu ditanggapi cepat dan memuaskan. Ini fakta yang sulit terbantahkan. Pada bagian ketiga akan lebih jelas. Orang yang berkali-kali mengadu dan lama direspon pasti kapok.

Ketiga, bukti menunjukkan bahwa segala sesuatu hal yang viral cenderung cepat ditanggapi. Benar, bukan? Maka di samping pernah kapok dan berharap bertambah jumlah teman atau follower, orang yang mengadu lewat medsos pribadi (dan grup) sangat ingin tulisan atau unggahannya direspon balik oleh pemilik akun lain. Entah respon berbentuk "like", komentar dan "share".

Respons terakhir yang paling diharapkan, di-share. Semakin banyak dibagikan, aduan berpotensi viral. Dan kalau sudah viral maka media mainstream bakal mengangkatnya lebih dahsyat lagi. Apa yang terjadi, target aduan (pemerintah) akan "kebakaran jenggot" dan mau tidak mau segera meresponnya.

Apakah ketiga hal ini yang mau dibiasakan di masyarakat? Mestinya tidak. Pemerintah jelas tidak berhak melarang warga mengadu lewat medsos (pribadi dan grup), namun minimal gerakannya tidak kalah cepat dibanding media mainstream.

Yang diminta kepada pemerintah adalah tidak sekadar menunggu aduan (berdalih sudah zaman teknologi) sambil duduk menikmati kopi yang terhidang di atas meja atau terlena mendengarkan lagu-lagu kesayangan.

Pemerintah (pejabat dan petugas OPD) wajib pro aktif "menjemput bola", turun ke lapangan, keliling kecamatan, kunjungan kelurahan dan seterusnya. Dan tugas pemerintah bukan cuma menyelesaikan proses aduan, melainkan ikut membangun interaksi sosial di masyarakat. Menyapa, menyalami dan berkomunikasi tatap muka dengan warga.

Kesimpulannya, janganlah terlalu banyak dimunculkan aplikasi atau kanal-kanal yang justru membingungkan dan membosankan warga. Satu atau dua, itu sudah cukup, yang penting efektif dan bermanfaat bagi warga.

***

Artikel terkait CRM: [1] [2] [3]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun