Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Lem Aibon" dan Buruknya Penganggaran Pemerintah Daerah

30 Oktober 2019   17:24 Diperbarui: 4 November 2019   09:46 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pihak kompas.com menuliskan sebuah artikel bahwa ada peningkatan drastis aktivitas pencarian keyword atau kata kunci "lem Aibon" berdasarkan data analitik di Google Search untuk wilayah Indonesia pada hari ini, Rabu, 30 Oktober 2019.

Menurut pantauan media online tersebut, sebelumnya keyword "Aibon dan "lem Aibon" hanya mencatatkan rata-rata satu pencarian dalam setiap jamnya, sepanjang tujuh hari terakhir.

Sementara hari ini, pencarian kedua keyword di atas meningkat menjadi sekitar 30 sampai 50 tiap menit, selama empat jam terakhir sebelum siang hari atau sekitar pukul 13.00 WIB.

Ada apa dengan "Aibon" dan "lem Aibon", apakah benda yang kerap disalahgunakan oleh orang tidak bertanggung jawab itu sedang mencapai titik tertinggi penjualannya?

Ternyata tidak, sama sekali belum ada hubungannya dengan kinerja terbaik penjualan produk lem. Dan jika kedua keyword itu tidak dibahas ramai di jagat maya, kinerja yang dimaksud sangat mungkin terealisasi.

Inilah alasan mengapa "Aibon" dan "lem Aibon" menjadi trending topic. Salah seorang anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), William Aditya Sarana mengunggah sebuah "temuan aneh" dari Anggaran DKI Jakarta untuk tahun 2020 ke akun Instagram pribadinya @willsarana (29/10).

Berikut kutipan unggahan William: "Kami temukan anggaran yang cukup aneh lagi yaitu pembelian lem Aibon sebesar Rp 82 miliar lebih oleh Dinas Pendidikan. Buat apa murid-murid kita disuplai dua kaleng lem Aibon tiap bulannya? Tolong jelaskan."

Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata anggaran "mengagetkan" tadi adalah usulan Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat menganggarkan Rp 82,8 miliar pada Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2020 DKI Jakarta untuk pembelian lem Aibon.

Mengomentari temuan dan unggahan William, pihak Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat mengaku bahwa telah terjadi salah pengetikan. Hal itu disampaikan oleh Susi Nurhati selaku sekretaris.

"Ini sepertinya salah ketik, kami sedang cek ke semua komponennya untuk diperbaiki. Itu ATK, tapi kami hanya mengusulkan kertas dan tinta saja. Kami akan cek ke seluruh SDN di Jakarta Barat, kami revisi usulan anggaran itu terakhir Jumat (25/10) malam. Dan sekarang juga akan kami cek kembali keseluruhannya," kata Susi Nurhati (29/10).

Mengaku salah ketik, harusnya yang diusulkan kertas dan tinta. Lalu siapakah yang meng-input lem Aibon? Kok terlalu jauh dengan yang namanya ATK dan sejenisnya?

Dan kalau betul sudah direvisi pada Jumat, 25 Oktober 2019, mengapa rencana pembelian lem Aibon dalam jumlah besar luput dari pantauan dan koreksi? Benarkah sudah direvisi?

Pengakuan Susi Nurhati pun dinegasi oleh Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Syaefuloh Hidayat, dengan memberi pernyataan detail dan lengkap hari ini. Sungguh saling bertolak belakang dan hampir tidak ada kecocokannya.

Berikut kutipan pernyataan Syaefuloh:

"Bukan salah input, tetapi memang yang ada di dalam komponen e-budgeting adalah komponen sementara yang akan kita sesuaikan berdasarkan hasil input komponen dari masing-masing sekolah. Terbentur waktu (saat penganggaran), kemudian Sudin (pendidikan tingkat kota dan kabupaten) susun anggaran sementara dengan harapan, saat sekolah selesai susun anggaran sekolah, ada 17 ribu komponen sekolah yang tertampung di 23 rekening itu detail sekali. Saat sekolah sudah selesai detail. Kemudian komponen atau rekening yang sudah disusun Sudin nanti akan disesuaikan komponen yang sudah disusun sekolah. Saat lihat kembali secara detail, anggaran yang disusun oleh seluruh sekolah wilayah Jakarta Barat 1, diusulkan hanya Rp 175 miliar dalam jangka waktu satu tahun. Terdiri dari 23 rekening. Alat laboratorium yang (sebelumnya ditulis) sekitar Rp 132 miliar, hanya Rp 1,3 miliar saja. ATK, di situ ada Aibon disampaikan Rp 82 miliar, ATK itu seluruh sekolah hanya Rp 22 miliar. Artinya, secara detail di sekolah, mudah-mudahan komponen Aibon tidak ada dan kita akan lakukan penyesuaian. Data penyesuaian sudah ada."

Sangat bertolak belakang, bukan? Sebenarnya yang perlu dijelaskan siapakah yang melakukan input dan berapa lama waktu yang tersedia untuk menyusun anggaran. Ini harus dijawab terbuka oleh Pemprov DKI Jakarta.

Ada hal aneh lain juga, yakni ketika anggaran lem Aibon dipersoalkan, tiba-tiba saja laman apbd.jakarta.go.id terkunci dan sulit diakses. Ada apa sebenarnya? Apakah penganggaran Pemprov DKI Jakarta selama ini dilakukan asal-asalan sehingga rawan dipersoalkan?

Selain soal lem Aibon, beberapa hari sebelumnya juga ditemukan anggaran aneh serupa, yang selalu diakui "salah ketik" oleh si pemilik anggaran. Antara lain, anggaran Rp 5 miliar untuk membayar lima influencer luar negeri pada tahun 2020 oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta.

Selanjutnya, anggaran Rp 73 miliar untuk pengecatan jalur sepeda, anggaran Rp 86 milyar untuk TGUPP membuat laporan gubernur Jakarta, dan terbaru anggaran Rp 123 miliar untuk pembelian ballpoint. Sila baca berita penunjang pada lampiran tautan di bagian bawah artikel.

Ratusan miliar uang rakyat dialokasikan asal-asalan, bagaimana Pemprov DKI Jakarta memahami perasaan warganya? Mengapa pemerintah tidak memprioritaskan anggaran untuk kebutuhan mendasar warga, misalnya untuk pengadaan toilet (jamban) bagi warga di pemukiman kumuh yang ramai diberitakan belakangan ini?

Penganggaran buruk bisa terjadi di daerah sekelas DKI Jakarta yang menggunakan sistem e-budgetting dan notabene ibu kota negara, bagaimana pula nasib daerah-daerah lain di Indonesia? Jangan-jangan lebih parah?

Hal inilah yang patut dipantau, dikritisi dan dikoreksi terus-menerus, terutama oleh para wakil rakyat. Mereka harus komitmen menjadi "mata" bagi rakyat yang diwakili.

Jangan sampai rakyat dipaksa membayar pajak dan kontribusi lainnya, sementara pihak pengelola uang mengalokasikan anggaran secara serampangan. Kasihan rakyat yang sedang meratapi nasib buruknya.

***

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun