Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Suami Jabat Bupati dan Istri Jabat Ketua DPRD, Konflik Kepentingan Sulit Terhindarkan

12 Oktober 2019   13:52 Diperbarui: 12 Oktober 2019   13:54 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah apa ayang merasuki para pembuat kebijakan sehingga lalai mengantisipasi terjadinya hal-hal yang "tidak biasa" dalam tata cara pengangkatan pejabat publik. 

Yang saya maksud adalah, mestinya ada batasan-batasan tertentu untuk mengatur agar jabatan pemerintahan, baik itu di level eksekutif maupun legislatif tidak berada di bawah kendali satu keluarga.

Pembuatan aturan terkait hal itu penting supaya prinsip demokrasi tidak disalahgunakan oleh mereka yang haus kekuasaan. Aturan tersebut sebaiknya dibuat jelas dan rinci oleh pemerintah (pusat dan daerah), yang kemudian diikuti untuk diterjemahkan juga oleh partai politik.

Dengan belum adanya aturan yang dimaksud, setiap orang atau kelompok yang ingin melanggengkan pola "dinasti" selalu beralibi bahwa tidak ada kaidah yang dilanggar. Betul kaidah yang bersifat aturan tertulis demikian, tapi mestinya tidak dengan norma etika.

Kalau selama ini pola "dinasti" hanya berlangsung di partai politik, misalnya dua orang atau lebih anggota keluarga mendapat posisi terhormat (jabatan tertinggi), di mana sering dipersoalkan karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, lalu bagaimana dengan yang terjadi di bidang pemerintahan belakangan ini?

Maksud saya begini, bagaimana mungkin jabatan tertinggi di level eksekutif dan legislatif bisa dikuasai oleh satu atau lebih keluarga? Bagaimana seorang suami nyaman bertindak sebagai kepala daerah (pemerintah), sementara yang berlaku sebagai pimpinan "penyeimbang" kebijakannya adalah istrinya sendiri?

Patut dipahami bahwa tidak semua masyarakat paham mengenai batasan-batasan yang wajib dijunjung tinggi oleh seorang kepala daerah dan pejabat publik lainnya. 

Bagi masyarakat, asal sudah memilih, persoalan berikutnya bukan urusan yang dianggap penting. Meskipun bangsa ini sudah lama meninggalkan sistem monarki, namun paham feodal masih mengakar kuat di benak.

Peristiwa berikut kiranya bisa dijadikan sebagai bahan refleksi untuk selanjutnya dievaluasi dan dikoreksi. Contohnya yaitu seperti yang terjadi di Kabupaten Kutai Timur. Sepasang suami-isteri ternyata diketahui sama-sama menjabat posisi penting.

Posisi penting tersebut adalah jabatan bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Kutai Timur. Ismunandar (suami) menjabat sebagai bupati, sementara Encek UR Firgasih (istri) menjabat sebagai Ketua DPRD. Dan faktanya lagi bahwa Encek sebelumnya pernah juga jadi Wakil Ketua DPRD semasa suaminya menjabat sebagai bupati.

Logika lain apa yang bisa diterima publik selain alasan pasangan suami-istri tersebut tidak melanggar aturan karena merupakan hasil proses politik? Kepentingan siapa yang akan diperjuangkan mereka padahal berada di atap (rumah) yang sama?

Bagaimana mungkin ada proses check and balances antara kepala daerah dan pimpinan wakil rakyat di rumah itu? Adakah mereka tiap hari sama-sama akan selalu berdebat mempersoalkan kepentingan rakyat dan daerahnya?

Bagaimana pula seorang istri di rumah merangkap "pengkritik keras" kebijakan sang suami? Bukankah pada akhirnya keputusan yang diambil selalu berdasarkan pada hasil "mufakat keluarga"? Inilah yang dimaksud dengan konflik kepentingan!

Sekadar menambahkan, peristiwa "tidak biasa" di atas bukan hanya berlangsung di Kabupaten Kutai Timur, tetapi juga Kota Bontang. Faktanya adalah ternyata seorang ibu dan seorang anak sama-sama mendapat posisi penting di kota tersebut.

Neni Moerniaeni (ibu) menjabat sebagai Wali Kota, sementara Andi Faisal (anak) menjabat sebagai Ketua DPRD. Informasi lainnya, Wali Kota Bontang sebelumnya dijabat oleh Sofyan Hasdam, suami Neni dan ayah Andi.

Neni Moerniaeni/ isteri (Wali Kota Bontang), Sofyan Hasdam/ suami (Mantan Wali Kota Bontang) dan Andi Faisal/ anak (Ketua DPRD Kota Bontang) | tribunnews.com
Neni Moerniaeni/ isteri (Wali Kota Bontang), Sofyan Hasdam/ suami (Mantan Wali Kota Bontang) dan Andi Faisal/ anak (Ketua DPRD Kota Bontang) | tribunnews.com

Pertanyaannya mirip dengan peristiwa di Kabupaten Kutai Timur, bagaimana mungkin seorang anak nyaman berlaku sebagai pimpinan "pengkritik" atau penyeimbang kebijakan sang ibu?

Sila tambahkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya bila masih ada. Yang jelas, peristiwa di Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang sulit diterima secara logika (dan etika). Semoga kepemimpinan di negeri ini tidak "terpasung" dalam pola dinasti.

***

Pustaka: KOMPAS.com [1, 2, 3, 4] dan Tribunnews.com [5]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun