Bagaimana mungkin ada proses check and balances antara kepala daerah dan pimpinan wakil rakyat di rumah itu? Adakah mereka tiap hari sama-sama akan selalu berdebat mempersoalkan kepentingan rakyat dan daerahnya?
Bagaimana pula seorang istri di rumah merangkap "pengkritik keras" kebijakan sang suami? Bukankah pada akhirnya keputusan yang diambil selalu berdasarkan pada hasil "mufakat keluarga"? Inilah yang dimaksud dengan konflik kepentingan!
Sekadar menambahkan, peristiwa "tidak biasa" di atas bukan hanya berlangsung di Kabupaten Kutai Timur, tetapi juga Kota Bontang. Faktanya adalah ternyata seorang ibu dan seorang anak sama-sama mendapat posisi penting di kota tersebut.
Neni Moerniaeni (ibu) menjabat sebagai Wali Kota, sementara Andi Faisal (anak) menjabat sebagai Ketua DPRD. Informasi lainnya, Wali Kota Bontang sebelumnya dijabat oleh Sofyan Hasdam, suami Neni dan ayah Andi.
Pertanyaannya mirip dengan peristiwa di Kabupaten Kutai Timur, bagaimana mungkin seorang anak nyaman berlaku sebagai pimpinan "pengkritik" atau penyeimbang kebijakan sang ibu?
Sila tambahkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya bila masih ada. Yang jelas, peristiwa di Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang sulit diterima secara logika (dan etika). Semoga kepemimpinan di negeri ini tidak "terpasung" dalam pola dinasti.
***
Pustaka: KOMPAS.com [1, 2, 3, 4] dan Tribunnews.com [5]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H