Setelah UU KPK hasil revisi disahkan oleh DPR dan pemerintah beberapa waktu yang lalu, kini yang mengalami "pusing tujuh kali keliling" adalah Presiden Jokowi.Â
Bagaimana tidak, hasil revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tersebut sudah diminta sebagian publik untuk dibatalkan, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Karena terdesak oleh aksi massa pengunjuk rasa, maka sekian hari yang lalu sejumlah tokoh diundang hadir di Istana Negara untuk berdiskusi dengan Presiden Jokowi membahas UU KPK hasil revisi supaya menemukan opsi langkah terbaik yang akan diambil.Â
Mayoritas tokoh menganjurkan penerbitan Perppu, yang diafirmasi langsung oleh Presiden Jokowi. Namun sampai sekarang belum ada tanda-tanda, apakah Presiden Jokowi betul akan menerbitkan Perppu atau tidak, yang jelas beliau sempat berjanji akan melakukannya dalam waktu cepat.
Mengapa Presiden Jokowi tampaknya ragu dengan janji penerbitan Perppu? Bukankah anjuran itu datang dari para tokoh terpandang di negeri ini yang paham hukum atau undang-undang?
Apakah karena sebagian partai politik pendukung tidak setuju dengan opsi Perppu, bahkan salah satu di antaranya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)? Apakah Presiden Jokowi takut menerima resiko di baliknya?
Menurut hemat saya, bukan ragu atau takut, Presiden Jokowi sesungguhnya paham bahwa langkah terbaik itu bukan penerbitan Perppu. Di lingkaran istana ada banyak orang yang mengerti hukum, yang mustahil tidak membantu beliau.
Parpol pendukung juga bukan bermaksud membuat Presiden Jokowi terpojok, tetapi mereka mengerti rambu-rambu hukum yang mesti ditaati supaya Presiden Jokowi tidak salah langkah.
Janji menerbitkan Perppu terlanjur disampaikan demi meredam aksi massa. Presiden Jokowi pasti tahu bahwa sebagian massa kurang paham esensi tuntutan mereka. Terlepas benar atau tidak, yang penting turun ke jalan.
Saya mengatakan Presiden Jokowi jauh dari takut dan ragu sebab beliau sendiri belum meminta UU KPK hasil revisi dimasukkan ke dalam lembar negara agar siap diterapkan.
Atau katakanlah ragu karena alasan beliau masih menemukan hal-hal yang kurang pas pada UU KPK hasil revisi (di luar penilaian publik berpotensi melemahkan KPK), yang kemudian benar diungkap oleh pihak kesekretariatan negara bahwa terdapat kekeliruan pengetikan atau "typo" pada pasal tertentu.
Kekeliruan yang dimaksud pada Pasal 29 butir e terkait syarat usia minimal dan maksimal bagi pimpinan atau komisioner KPK. Pada pasal itu disebutkan usia minimal 50 tahun dan maksimal 65 tahun.Â
Poin kelirunya terdapat pada penulisan angka dan keterangan syarat usia minimal. Angka tertulis "50" sementara keterangan (dalam kurung) tertulis "empat puluh tahun".
Apakah hanya karena soal "Typo" makanya Presiden Jokowi menunda penerbitan Perppu? Saya rasa tidak. Sekali lagi menunda, bukan batal menerbitkan Perppu. Saya sangat yakin beliau akan menerbitkan Perppu jika beberapa hal berikut terjawab dengan benar dan tepat:
Pertama, tidak ada kondisi darurat yang bersifat memaksa, yang mengancam keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Situasi negara masih terkendali. Tekanan massa tidak boleh jadi alasan utama penerbitan Perppu. Bila dituruti, negara ini nanti bisa diombang-ambingkan seenaknya oleh mereka yang punya massa.
Kedua, sudah ada pihak tertentu (sekelompok mahasiswa) yang mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga keputusan hakim wajib ditunggu.
Meskipun jika dipahami, sebenarnya UU KPK hasil revisi belum resmi berlaku (karena tidak ada nomor lembar negara) tapi tergesa-gesa dibawa ke pengadilan.Â
Harusnya memang dimasukkan dulu ke dalam lembaran negara, baru kemudian diujikan di MK. Sepertinya hakim MK bakal menolak menguji karena materinya belum jelas, UU KPK hasil revisi belum jadi UU yang resmi berlaku.
Ketiga, dengan UU KPK hasil revisi belum resmi diterapkan, maka UU Nomor 30 Tahun 2002 tetap berlaku sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Maka artinya UU KPK hasil revisi sebaiknya dimasukkan terlebih dahulu ke dalam lembaran negara supaya bisa diujikan ke MK.
Apabila nantinya hakim MK menyatakan UU KPK hasil revisi bermasalah dan perlu dikoreksi, maka Presiden Jokowi baru punya kewenangan menerbitkan Perppu atau meminta DPR melakukan legislative review.
Penerbitan Perppu atau permintaan legislative review tetap harus menunggu keputusan hakim MK atas judicial review. Oleh karena itu langkah yang paling baik diambil oleh Presiden Jokowi adalah langsung memasukkan UU KPK hasil revisi ke dalam lembar negara supaya resmi berlaku, sehingga dengan cepat pula digugat oleh publik.
Tidak hanya untuk menjawab tuntutan publik, status UU KPK hasil revisi mesti diperjelas (Perppu atau legislative review) supaya tidak mempengaruhi jadwal pelantikan para komisioner baru.
Dengan kata lain, pelantikan komisioner menunggu hasil judicial review (terkait "typo" syarat usia minimal), sedangkan judicial review menunggu UU KPK hasil revisi masuk lembar negara).
Ringkasnya: UU KPK hasil revisi -> lembar negara (resmi berlaku) -> digugat ke MK (judicial review) -> Presiden terbitkan Perppu atau minta legislative review.
Kapan Presiden Jokowi segera memasukkan UU KPK hasil revisi ke dalam lembar negara? Secepatnya. Menurut saya, selama status UU KPK hasil revisi belum jelas, UU KPK lama tetap berlaku.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI