Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengevaluasi Ulang Eksistensi DPD RI

2 Oktober 2019   19:57 Diperbarui: 2 Oktober 2019   19:59 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu lembaga negara yang anggotanya turut dilantik pada Selasa, 1 Oktober 2019 adalah Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Jumlah anggota DPD yang dilantik sebanyak 136 orang, yakni terdiri dari 4 orang perwakilan masing-masing provinsi.

Selain pelantikan anggota, pemilihan pimpinan DPD juga dilakukan pada hari yang sama. Anggota DPD yang terpilih merangkap pimpinan antara lain, La Nyalla Mattalitti (ketua), Sultan Bachtiar (wakil ketua), Mahyudin (wakil ketua), dan Nono Sampono (wakil ketua).

Bersama 575 orang anggota DPR RI, 136 anggota DPD yang kerap disebut senator tadi otomatis juga masuk dalam himpunan keanggotaan MPR RI, yang akan mengemban amanah mewakili suara rakyat dan daerah selama lima tahun ke depan (2019-2024).

Keberadaan DPD yang dibentuk sesuai perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada November 2001 telah mengubah sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia, dari unikameral menjadi bikameral.

Artinya lembaga legislatif yang sebelumnya hanya DPR menjadi bertambah karena kehadiran DPD. Pemilihan perdana keanggotaan DPD dimulai pada Pemilu 2004 silam. Dan boleh dikatakan DPD adalah salah satu produk reformasi.

Jika dikalkulasi, jumlah anggota DPD per periode sebagai berikut: 128 orang (periode 2004-2009), 132 orang (periode 2009-2014), 132 orang (periode 2014-2019), 136 orang (periode 2019-2024).

Berdasarkan pasal 22 butir D UUD 1945 dan Tata Tertib DPD RI, fungsi DPD RI menyangkut legislasi (legislating), pengawasan (controlling), dan penganggaran (budgeting). 

Sementara tugas dan wewenangnya adalah pengajuan usul rancangan undang-undang (RUU), pembahasan RUU, pertimbangan atas RUU dan pemilihan anggota BPK, serta pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang (UU).

Melihat fungsinya, tergambar DPD tidak jauh beda dengan DPR. Spesifikasi tugas dan wewenang DPD terkait hal menyerap, menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat di daerah atau provinsi yang diwakili kiranya dapat juga dianggap tumpang tindih dengan tugas dan wewenang DPR.

Baiklah bahwa baik DPD maupun DPR sama-sama saling melengkapi, namun pertanyaannya adalah bukankah tugas menyerap aspirasi masyarakat selama ini lebih banyak diambil alih oleh DPR?

Menyangkut tugasnya mengusulkan rancangan undang-undang (RUU), betulkah para anggota DPD mendapat tempat terhormat di parlemen untuk ikut bersuara lantang? Bukankah DPD tidak berhak memutuskan penetapan RUU menjadi undang-undang (UU)?

Fungsi strategis DPD ada di mana? Apakah hanya untuk mengurus usulan pemekaran wilayah baru (provinsi, kabupaten, kota, kecamatan dan seterusnya)? Diakui terbuka atau tidak oleh publik, keberadaan DPD bisa dinilai cuma menambah jumlah lembaga negara.

Sebenarnya bukan hanya fungsi dan tugasnya yang tumpah tindih dengan DPR, setidaknya ada dua lagi persoalan lain dari DPD sejak berdiri hingga sekarang yakni lokasi kantor dan konflik kepentingan politik.

Mengapa kantor DPD berada di wilayah pusat pemerintahan (DKI Jakarta), sementara pada UU MD3 disebutkan bahwa anggota DPD harus bekerja di domisili daerah pemilihannya? Apakah UU MD3 sekadar tulisan pajangan pada selembar kertas?

Bagaimana mungkin para anggota DPD mengaku sebagai perwakilan daerah namun kegiatan sehari-seharinya lebih banyak dihabiskan di ibu kota? Seberapa intensif mereka berinteraksi dengan masyarakat di daerahnya masing-masing?

Selanjutnya, terkait konflik kepentingan politik, patut disyukuri bahwa ketua DPD terpilih kali ini bukan berasal dari partai politik tertentu. Karena salah satu syarat menjadi anggota DPD adalah tidak boleh berafiliasi dengan partai politik mana pun.

Apakah syarat yang mestinya jadi prinsip utama tersebut tidak 'terinjak' kembali? Mestinya pengalaman buruk di periode-periode sebelumnya tidak terulang, di mana pernah dalam sejarah DPD, dua ketuanya berasal dari partai politik.

Jelasnya, ketua DPD pada periode 2004-2009 dijabat oleh Ginandjar Kartasasmita yang merupakan kader Partai Golkar, sedangkan di periode 2014-2019 dijabat oleh Oesman Sapta Odang yang nyata adalah kader sekaligus Ketua Umum Partai Hanura.

Kiranya beberapa persoalan tadi mewakili sebagian saja dari sekian hal yang patut jadi bahan evaluasi atas keberadaan DPD. Semoga lembaga negara yang ikut menggunakan uang rakyat itu semakin mempertegas lagi apa fungsi dan tugas-tugasnya, serta tetap patuh pada aturan yang ada.

***

[1] [2]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun