Menurut saya aneh ketika lewat konferensi pers yang dilakukan kemarin malam (Jumat, 13 September 2019), beberapa komisioner KPK periode 2015-2019 mengumumkan bahwa mereka menyerahkan mandat pengelolaan lembaga KPK ke tangan Presiden Joko Widodo.
Beberapa komisioner yang dimaksud bernama Agus Rahardjo (Ketua KPK), Saut Situmorang (Wakil Ketua KPK), dan Laode M. Syarief (Wakil Ketua KPK). Lalu ke mana dua komisioner lain?
Saya kurang tahu, barangkali ada kesibukan lain sehingga tidak menghadiri konferensi pers. Khusus untuk Alexander Marwata, saya yakin beliau tidak mungkin ikut karena sudah terpilih lagi jadi komisioner untuk periode 2019-2023.
Apakah konferensi pers yang digelar merupakan keputusan bersama seluruh komisioner, saya juga kurang tahu.Â
Bagi saya, menyerahkan mandat ke Presiden Jokowi tidak hanya melanggar etika tetapi juga menabrak prinsip profesionalisme.
Mohon maaf, saya terpaksa mengatakan bahwa para komisioner KPK yang sedang menjabat tidak punya rasa tanggung jawab. Mereka berniat 'menanggalkan jabatan' tapi melalui konferensi pers.
Bisa dipahami, penyebab 'ngambeknya' para komisioner karena dua hal, yakni keberatan revisi UU KPK dan kurang 'sreg' lolosnya beberapa calon komisioner periode 2019-2023 yang dinilai bermasalah.
Misalnya saja Firli Bahuri yang telah resmi dipilih oleh Komisi III DPR RI menjadi Ketua KPK yang baru. Bersama Firli, empat komisioner (wakil ketua) lain yaitu Alexander Marwata (petahana), Nurul Ghufron, Lili Pintouli Siregar, dan Nawawi Pamolango.
Khusus Firli yang saat ini masih menjabat sebagai Kapolda Sumatera Selatan (Sumsel), beliau disebut melanggar etika karena pernah bertemu dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang atau TGB (nama asli Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi, Lc., M.A.) beberapa tahun lalu, yang dikaitkan dengan kasus Newmont.
Firli yang menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK pada waktu itu pun membantah tidak ada kepentingan di balik pertemuan yang diakuinya spontan tersebut. Dan sampai pada tahun lalu saat ditarik dari KPK untuk dimutasi jadi Kapolda Sumsel, Firli diberhentikan dengan hormat.
Pertanyaannya, bukankah lolosnya Firli di semua tahapan penjaringan calon pimpinan KPK (komisioner), lewat proses yang dibuat oleh panitia seleksi (pansel)? Bukankah pula pansel selalu berkoordinasi dengan banyak pihak untuk mengetahui rekam jejak dan kapabilitas para calon komisioner?