Kongres V Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sudah dimulai kemarin (Kamis, 8 Agustus 2019) dan akhir berakhir besok (Sabtu, 10 Agustus 2019), berlokasi di Hotel Grand Inna Bali Beach, Sanur, Bali.
Hari pertama kongres diawali dengan sidang paripurna pengurus dan kader PDI-P, yang hasilnya menetapkan kembali Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum untuk periode 2019-2024.
Baca: Bersedia Jadi Ketua Umum PDI-P Lagi, Megawati Cerdas dan Bijak
Publik tahu bahwa di sidang Kongres V PDI-P turut dihadiri oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, mantan calon presiden (capres) penantang Joko Widodo di Pilpres 2019. Prabowo hadir karena diundang secara khusus oleh Megawati.
Kehadiran Prabowo mempertegas sikap Gerindra dan partai-partai penantang (oposisi) lainnya bahwa rekonsiliasi politik pasca kekalahan mereka di Pilpres 2019 penting dilakukan demi kebaikan bangsa.
Ya, Prabowo melanjutkan kembali silaturahmi politiknya di Kongres V PDI-P usai bertemu dengan Megawati bulan lalu.Â
Semoga rekonsiliasi betul membuahkan hasil sehingga efeknya bisa terasa sampai ke bawah. Masyarakat mau berangkulan seperti yang dicontohkan para elit politik.
Keterbelahan (konflik) sosial akibat beda pendapat dan pilihan politik sudah semestinya diakhiri, meski belum tentu terwujud dalam waktu cepat. Namanya luka pasti bekasnya tetap ada. Sebuah konsekueni buruk dari penerapan sistem demokrasi.
Namun sadarkah kita bahwa konflik politik dan sosial di Pilpres 2019 kemarin merupakan puncak dari kejadian serupa di Pilpres 2014 dan Pilkada 2017 DKI Jakarta?
Baiklah jika disebut konflik di Pilpres 2014 mengikis karena sudah lama. Lagipula pihak yang saling bersaing pada waktu itu orangnya sama, yaitu Jokowi dan Prabowo.Â
Lalu bagaimana dengan konflik selama Pilkada 2017 DKI Jakarta, bukankah skalanya hampir sama besar dengan yang terjadi di Pilpres 2019? Mengapa tidak diupayakan agar turut selesai?