Pada beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku bahwa di periode pemerintahannya yang ke-2 (2019-2024) bersama Ma'ruf Amin akan lebih berani mengambil keputusan karena sudah tidak punya beban apa-apa.
Pengakuan Jokowi tersebut setidaknya disampaikan di empat kesempatan, antara lain pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Hotel Shangri-la, Jakarta (9/5/2019), pada acara Peresmian Bendungan Rotiklot di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (20/5/2019), pada acara Halal Bihalal dengan Aktivis 98 di Jakarta (16/6/2019), dan pada acara penyampaian Pidato "Visi Indonesia" di Sentul International Convention Center di Bogor (14/7/2019).
Sila baca keempat pengakuan Jokowi di atas di sini [1] [2] [3] dan [4].
Jokowi mengatakan akan lebih berani karena tidak ada kepentingan lagi dengan urusan pencalonan presiden pada Pilpres 2024 mendatang. Oleh sebab itu apa pun yang dianggap baik bakal mudah diputuskan.
Misalnya dalam hal pengambilan kebijakan-kebijakan yang kurang populer seperti penutupan lembaga-lembaga yang dianggap tidak kontributif bagi negara, pemotongan izin ekspor dan investasi yang berbelit-belit, serta ketegasan menegakkan hukum.
Betul, seharusnya memang Jokowi semakin berani dibanding di periode 2014-2019. Berani berarti terukur, tidak lepas kendali dan asal-asalan. Selama yang diputuskan demi kebaikan bangsa, hal itu patut dilakukan.
Barangkali tidak ada satu pihak pun yang membantah dan meragukan apa yang dimaksud Jokowi. Mudah-mudahan pemerintahan di masa mendatang lebih baik dari sebelum-sebelumnya.
Namun apakah betul Jokowi sepenuhnya terbebas dari beban apa pun? Bukankah di awal perencanaan kabinet baru ini beliau sebenarnya sedang galau dan pusing?
Kegalauan itu terkait dengan langkah Jokowi untuk mengakomodasi banyak partai politik agar maksimal mendukungnya dalam menjalankan program-program pemerintahan.
Harus dipahami bahwa selain partai-partai pendukungnya, Jokowi ternyata berkeinginan merangkul juga partai-partai lawan (penantang). Beliau sepertinya ingin 'menggemukkan' kabinet barunya.
Di satu sisi, partai pendukungnya sebagian besar berkendak mempertahankan koalisi awal, dan di sisi lain partai penantang berminat untuk bergabung. Di sinilah kesulitan Jokowi.