Tidak ada yang menyangka bahwa peristiwa padamnya listrik dua hari lalu (Minggu, 4 Agustus 2019) di wilayah Jawa ternyata membawa berkah juga bagi DKI Jakarta. Berkah yang dimaksud adalah membaiknya kualitas udara Jakarta, terhitung sejak Minggu malam hingga Senin pagi (5 Agustus 2019).
Jika beberapa waktu belakangan Jakarta konsisten mendapat peringkat pertama dan kedua sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, pada Minggu dan kemarin pagi justru berubah, bahkan sempat menempati peringkat 22.
Peringkat tersebut sesuai data yang ditampilkan AirVisual.com pada Senin (5/8/2019) pukul 08.04 WIB, di mana nilai air quality index (AQI) Jakarta mencapai 75-81 atau kategori moderat, setara dengan parameter pm 2.5 dengan konsentrasi 23.5 g/m.Â
Artinya nilai AQI Jakarta pada Senin pagi turun drastis atau lebih separuh, dibanding pada Minggu pagi yang mencapai angka 152 dan menempati peringkat ke 2 di dunia.
Selain kualitas udara yang membaik, suhu di Jakarta juga mengalami penurunan, yaitu berada di angka 24 derajat Celcius. Padahal biasanya berkisar antara 32-33 derajat Celsius.
Itulah yang dimaksud sebagai berkah di balik padamnya listrik. Tentu jika dipahami, munculnya berkah tersebut disebabkan banyak faktor, misalnya:
Pertama, kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya berkurang (terutama di Minggu malam) karena pencahayaan sedikit (mati lampu). Para pemilik kendaraan tentu tidak mau terjadi apa-apa dengan mereka ketika melintas di jalan gelap yang andalanya cuma lampu kendaraan.
Terlebih lagi lampu pengatur lalu lintas juga ikut mati, sehingga para pengendara sudah barang tentu tidak ingin terjebak kemacetan.
Kedua, orang-orang memutuskan berdiam di rumah, yang artinya tidak pergi ke suatu tempat membawa kendaraan pribadi atau naik kendaraan umum. Contohnya hampir semua orang tidak ada yang berniat ke minimarket karena memang tidak ada pelayanan di sana.Â
Terkecuali ke pusat perbelanjaan, semisal mal atau swalayan. Itu pun orang yang pergi ke sana bukan dalam rangka belanja, tetapi mengisi baterai alat komunikasi atau sejenisnya. Sebagian pusat perbelanjaan memanfaatkan genset.
Ketiga, pusat-pusat produksi barang (pabrik) berhenti beroperasi karena kekurangan daya listrik. Seandainya pun menggunakan genset, hal itu tentu tidak bisa diandalkan terlalu lama.
Keempat, dan sebagainya. Sila analisis sendiri.
Pertanyaannya, betulkah masih ada solusi lain yang lebih ampuh untuk mengatasi polusi udara di Jakarta selain listrik padam? Bukankah meski dalam hitungan jam, kualitas udara sudah menjadi semakin baik?
Masih adakah yang mempersoalkan kekurangan dan kelebihan tanaman Lidah Mertua? Terbukti, Lidah Mertua belum menyelesaikan persoalan polusi udara di Jakarta, sedangkan listrik padam jelas terasa dan terlihat.
Ya, bukan menganjurkan supaya pihak PLN memadamkan listrik dalam waktu lama demi udara bersih di Jakarta, tidak di situ duduk persoalannya. Jangankan sehari, dua hari, atau seminggu; listrik padam dalam hitungan jam saja sudah membuat Jakarta seperti kota mati. Tidak ada kehidupan.
Kalau begitu pemahamannya adalah bagaimana kita menggunakan sarana dan fasilitas yang tersedia sesuai kebutuhan, tidak berlebihan.Â
Keengganan keluar rumah saat listrik padam kemarin harusnya bisa menjadi bahan refleksi buat kita bahwa kendaraan kitalah yang menyebabkan kualitas udara di Jakarta memburuk.
Jangan salahkan orang lain atau pemerintah, salahkan diri sendiri mengapa lebih memilih naik kendaraan pribadi dibanding kendaraan umum.
Seberapa banyak pun Lidah Mertua ditanam di Jakarta, kalau kita tidak 'mengerem' keinginan untuk membeli dan menggunakan kendaraan pribadi, semuanya percuma.Â
Semoga kita mau berefleksi. Amin.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H