Meskipun masa jabatannya sebagai Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) tersisa tinggal dua setengah bulan (berakhir pada 20 Oktober 2019), Mohamad Nasir sepertinya ingin meninggalkan sebuah "jejak bersejarah" di bidang pendidikan.
Nasir mau membuktikan kepada publik bahwa selama menjabat, dirinya berjasa melahirkan terobosan baru dalam meningkatkan kualitas perguruan tinggi. Di detik-detik terakhir, dia kembali mewacanakan perekrutan orang asing menjadi rektor di perguruan tinggi negeri (PTN) Indonesia.
Apakah betul Nasir berkehendak demikian atau hanya mencoba "pamer muka" di depan Presiden Joko Widodo (Jokowi) supaya dipilih lagi sebagai Menristekdikti di periode pemerintahan mendatang?
Terkait hal itu, biarlah Nasir yang menjawabnya. Mudah-mudahan niatnya memang murni demi perbaikan kualitas pendidikan kita, tanpa ada "udang di balik batu". Kita berpikir positif saja.
Namun pertanyaannya adalah, bukankah wacana di atas pernah dihembuskan pada 2016 silam? Mengapa tidak terealisasi sepanjang tiga tahun terakhir? Bukankah dengan waktu yang cukup lama itu seharusnya minimal satu PTN yang berhasil dipimpin rektor impor?
Ke mana saja Nasir dan jajarannya, mengapa wacana tersebut sempat menghilang ditelan bumi? Kok tiba-tiba di tahun ini sudah mengambil keputusan bahwa pada 2020 segera direalisasikan?
Apakah masih Nasir yang jadi Menristekdikti lima tahun ke depan? Jika tidak, apakah penerusnya bakal melanjutkan program prestisius itu atau jangan-jangan tetap melestarikan budaya lama yaitu "beda menteri, beda kebijakan"?
Saya kok merasa pesimis ya? Saya sendiri sudah menuliskan tanggapan saya tentang wacana yang menuai polemik ini. Sila baca artikel saya yang berjudul "Wacana Impor Rektor dan Kisah Gloria Hamel-Arcandra Tahar".
Saya sendiri berharap Nasir terpilih lagi jadi Menristekdikti supaya wacana impor rektor tidak "mangkrak" lagi. Dan kalau pun akhirnya orang lain yang meneruskan, saya juga berharap wacana yang sama tetap diperjuangkan.
Sekali lagi, kita tetap menjaga optimisme bahwa bakal ada PTN Indonesia yang masuk posisi terbaik dunia, entah ke 200, 150 atau 100.Â
Kita tentu bangga bila di kemudian hari PTN kita bisa menyamai Nanyang Technological University (NTU), University of Cambridge atau sekelas kampus "Ivy League" (Harvard University-Massachusetts, Yale University-Connecticut, Princeton University-New Jersey, Columbia University-New York, Brown University-Rhode Island, Dartmouth College-New Hampshire, University of Pennsylvania-Pennsylviania, Cornell University-New York).
Saya yakin akan semakin banyak anak-anak bangsa berprestasi yang sekelas Nasir, asal biaya yang dibutuhkan untuk masuk di PTN di bawah kepemimpinan rektor impor tadi terjangkau. Amin!
Namun ada satu pernyataan (sebenarnya pertanyaan balik) yang dilontarkan Nasir ketika ditanya:Â Apakah tidak ada orang Indonesia sendiri yang cukup mampu untuk menjadi rektor sehingga harus mendatangkan rektor asing?
Inilah jawaban Nasir yang menurut saya malah merendahkan kemampuan yang dimiliki orang-orang hebat di tanah air:
"Saya mau tanya, rektor mana yang sudah berhasil mengangkat ke kelas dunia? Oleh karena itu, kita selama ini belum bisa men-challenge rektor di Indonesia, belum bisa meningkatkan pe-ranking-an dunia"?
Saya menilai jawaban tersebut merendahkan karena bagaimana pun ada banyak juga tokoh-tokoh kita lulusan luar negeri yang kualitasnya tidak kalah dengan orang-orang asing. Sebut saja Sri Mulyani yang merupakan lulusan University of lllinois Urbana-Champaign, Amerika Serikat, dan beberapa nama-nama lainnya.
Saya justru membayangkan suatu saat jika Sri Mulyani berhenti dari jabatan menteri, dia bisa diangkat jadi rektor di PTN tertentu. Kita coba lihat, apakah dia akan lebih lemah dari orang asing atau tidak.
Atau jangan dulu Sri Mulyani, Nasir sebagai mantan Rektor Universitas Diponegoro, bila tidak terpilih lagi menjadi Menristekdikti, apakah bersedia jadi rektor lagi?
Harusnya Nasir lebih hebat dari rektor-rektor PTN dan PTS yang ada, karena dengan bekal kemampuan mumpuninya kemudian dipilih jadi Menristekdikti oleh Presiden Jokowi di periode pemerintahan 2014-2019.
Maukah Nasir memberi contoh konkret bagaimana menjadi rektor terbaik? Semoga.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI